Perda Nomor 7 Tahun 2008 tentang rumah pemondokan dianggap tidak bertaring, sehingga perlu direvisi. Sekretaris Dinas Sosial, selaku ketua tim penertiban pemondokan, Murtadho, mengakui banyaknya penyimpangan perilaku penghuni kost-kostan, karena kebanyakan tempat kost tidak memiliki induk semang. Akibatnya tempat kos terkesan bebas dan beberapa kali tim memergoki kasus-kasus asusila. Seharusnya perguruan tinggi ikut berperan mendirikan asrama mahasiswa dan memantau pemanfaatan tempat kost. Menurut Murtadho, dari sekitar 2000 rumah pemondokan, baru sekitar 800 pemondokan yang mengajukan perijinan. Sisanya masih dalam proses pendekatan oleh tim. Namun jika tetap mengandalkan Perda yang ada, tujuan penertiban tempat kos-kosan, termasuk penertiban penggunaanya, tidak akan tercapai secara efektif.
Kost-Kost-an Menurut Mereka...!!!
Kata kost yang saat ini populer sebenarnya adalah turunan dari kata In de kost (dalam bahasa belanda). Aslinya definisi In de kost ini adalah ”makan di dalam” namun kalau dijabarkan lebih lanjut dapat pula berarti tinggal dan ikut makan di dalam rumah tempat kita menumpang tinggal.
Dulu, “in de kost” adalah sebuah gaya hidup yang cukup populer di kalangan menegah ke atas kaum pribumi. Untuk sebagian kalangan yang mengagung-agungkan budaya barat/Eropa khususnya Belanda, dengan trend semacam ini mereka berharap banyak agar anaknya dapat bersikap dan berprilaku layaknya bangsa Belanda atau Eropa yang dirasa lebih terhorma
Orang Belanda ataupun bangsa Eropa kala itu memang sangat terpandang dan memiliki kedudukan tinggi dalam strata sosial di masyarakat terutama kalangan pribumi. Mereka yang bukan orang Belanda dan ber-visi jauh ke depan menganggap perlunya anak mereka bersikap ”seperti” layaknya orang Belanda, dengan membayar sejumlah uang tertentu sebagai jaminan, anaknya diperbolehkan untuk tinggal di rumah orang Belanda yang mereka inginkan (tentunya dengan beberapa kondisi yang sudah diperhitungkan) dan resmilah si anak diangkat sebagai anak angkat oleh keluarga Belanda tersebut.
Setelah tinggal serumah dengan keluarga Belanda tersebut, (selain makan dan tidur) si anak tetap dapat bersekolah dan belajar menyesuaikan diri dengan gaya hidup keluarga tempat ia menumpang. Nah di sinilah mungkin sisi paling penting dari konsep ”in de kost” jaman dulu yaitu mengadapatasi dan meniru budaya hidup, bukan sekedar hanya makan dan tidur saja…Namun diharapkan setelah berhenti menumpang, sang anak dapat cukup terdidik untuk mampu hidup mandiri sesuai dengan tradisi keluarga tempat dimana ia pernah tinggal. Yah kalo dipikir-pikir hampir mirip dengan konsep ”Home stay” di jaman sekarang.
Lalu bagaimanakah dengan konsep in de kost saat ini? Seiring berjalannya waktu dan berubahnya jaman, sekarang khalayak umum lebih senang menyebut istilah in de kost dengan menyingkatnya menjadi ”kos” saja. Dimana-mana, terutama di berbagai daerah sentra pendidikan tumbuh berjamuran rumah-rumah (bahkan bangunan khusus) yang menawarkan jasa kost bagi para pelajar/mahasiswa yang membutuhkannya, tentunya semuanya tidak ada yang gratis, dengan sejumlah bayaran tertentu setiap periode barulah kita dapat menumpang
hidup di tempat yang kita inginkan. Pergeseran trend in de kost ini lambat laun diikuti pula oleh perubahan nilai sosial dan budaya dalam interaksi kehidupan di masing-masing pihak.