A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini di Indonesia dengan perkembangan perekonomian dunia, tampaknya semakin banyak gugatan yang menggunakan prosedur class actions yang diajukaan di beberapa instansi pengadilan dengan berbagai variasi alasan yang menjadi landasan gugatan. Oleh karena itu, kebutuhan informasi serta perkembangan pengetahuan tentang gugatan class actions yang bersifat praktis, kini sangat dirasakan kebutuhannya.
Walaupun gugatan class actions telah pertama kali dikenal pada abad ke- 18 di Inggris, kemudian meluas penerapannya di abad ke- 19 di negara-negara lainnya seperti Amerika, Kanada, Australia, dan lain-lain, yang pada umumnya negara - negara dengan system common law, tetapi bagi Indonesia pemahaman konsep ini masih terbilang baru.
Dalam menggunakan dan menyikapi prosedur gugatan ini, baik praktisi hukum maupun hakim di pengadilan tidak semuanya memahami aspek teknis penerapan prosedurnya. Pemahaman yang belum memadai ini dikarenakan prosedur class actions ada pedoman prosedur acara atau pedoman teknis penerapannya, dan umumnya sangat terkait dengan aspek prosedural yang sangat kompleks. Tidak adanya undang-undang ataupun peraturan lain yang mengatur tentang prosedur gugatan class actions, selain daripada peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2002 tentang tata cara penerapan gugatan perwakilan kelompok. Misalnya dalam kegiatan PPK telah disepakati bahwa suatu desa akan mendapatkan dana PPK apabila kelompok didesa tersebut yang sudah mendapatkan pinjaman telah melunasi pinjamannya. Akan tetapi kelompok tersebut menunggak pengembalian pinjaman sehinggamasyarakat desa tidak bisa memanfaatkan dana PPK. Karena merasa dirugikan, anggota masyarakat dapat bersama-sama mengajukan gugatan kepada kelompok tersebut dalam satu gugatan.
Beberapa contoh gugatan class action yang pernah terjbadi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Gugatan 27 nelayan mewakili 1145 kepala keluarga melawan 3 perusahaan badan hukum di Metro Lampung (perkara No. 134/Pdt.G/1997/PN. Jkt Sel).
2. Gugatan Yulia Erika Sipayung mewakili 1.016.929 penduduk Kabupaten Tuban vs Komisi A DPRD Tuban (Perkara No. 55/Pdt.G/200/PN. Tuban).
Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta atas dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidakefesienan bagi pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan bagi pihak pengadilan sendiri.
Tujuan gugatan class action, agar supaya proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efektif (judicial economy). Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan secara class action, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme class action akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu, yang kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima. Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah putusan-putusan yang berbeda dengan majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lainnya.
Dalam peraturan Mahkamah Agung I Tahun 2002, gugatan Perwakilan Kelompok (class actions) didefenisikan bahwa sebagai suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengujukan gugatan atas diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompok lainya.
Berbicara masalah landasan hukum yang mengatur gugatan class action, acara gugatan class action di Indonesia belum diatur dalam Hukum Acara Perdata, tetapi pengakuan secara hukum adanya gugatan class action telah diakui dan diatur dalam:
1. Pasal 37 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan perwakilan maupun gugatan kelompok ke pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan peri hehidupan masyarakat.
2. Pasal 71 UU No. Tahun 1999 tentang kehutanan.
Ayat 1: Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Ayat 2: Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
3. Dalam pasal 46 ayat (1) UU No. 8 Th. 1999 tentang perlindungan konsumen, mengatur gugatan secara kelompok, bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
Menurut penulis class action tersebut ternyata banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, karena peraturan yang telah mengadopsi ketentuan class action tersebut menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering (RBg), padahal HIR dan RBg tidak mengenal prosedur class action. Permasalahn yang timbul akibat tidak adanya ketentuan mengenai prosedur class action ini terlihat dari beberapa putusan pengadilan yang memeriksa dan mengadili gugatan perdata yang menggunakan prosedur class action.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas, maka pokok masalah merupakan dasar pokok dalam kajian skripsi ini adalah : gugatan perwakilan kelompok dan penerapannya pada Peradilan di Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan pokok masalah diatas, maka penulis akan mengemukakan beberapa sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme gugatan class action?
2. Bagaimana penerapan gugatan class action pada peradilan di Indonesia?
C. Hipotesis
Sebagai langkah awal dalam memahami serta sebagai jawaban sementara dari permasalahan, maka akan dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
Adapun yang bisa mengajukan gugatan perwakilan kelompok adalah mereka yang masuk dalam lapangan hukum perdata, terdiri dari sekian banyak perorangan (individu), kesamaan fakta atau dasar hukum, kesamaan jenis tuntutan secara impilisit, setelah memenuhi semua ini mereka akan diperhadapkan dengan formulasi gugatan, hingga pada putusan hakim.
Seperti di negara – negara lain yang telah mempunyai mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action) namun pada umumnya tujuannya sama, namun di Indonesia penerapan class action ini baru diterapkan pada Pengadilan Negeri (PN) tapi di Peradilan Agama (PA), Peradilan Militer (PM) dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) belum ada penerapannya namun menurut penulis gugatan class action akan ada.
Tata cara penyelesaian gugatan perwakilan kelompok di lingkungan Peradilan Agama sama dengan gugatan perwakilan kelompok yang ada di instansi peradilan lainnya, karena mempunyai dasar hukum yang sama.
D. Pengertian Judul
Untuk memudahkan alur pemikiran dalam memahami arah pembahasan ini, terlebih dahulu dijelaskan beberapa istilah yang digunakan sebagai berikut:
Gugatan bermakna: “Tuntutan . Perwakilan bermakna: “Orang yang dikuasakan menggantikan orang lain.” , sedangkan yang dimaksud dengan Kelompok adalah kumpulan . Yang dimaksud dalam sripsi ini adalah gugatan yang berisi tuntutan yang melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu orang atau beberapa orang yang berindak sebagai wakil kelompok, wakil kelompok ini bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk atas nama mereka sendiri, tetapi sekaligus atas nama kelompok yang mereka wakili yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan kesamaan kepentingan, kesamaan penderitaan dan apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota.
Peradilan bermakna: Badan peradilan khusus untuk orang yang mempunyai perkara tertentu yang memeriksa dan memutus perkara tentang perdata, perceraian, talak dan sebagainya, sesuai peraturan yang berlaku.
E. Kajian Pustaka
Tentang gugatan perwakilan kelompok, sebenarnya telah banyak dibahas baik di buku – buku, literature, skripsi maupun makalah. Namun adapun yang menjadi alasan penulis dalam pemilihan judul skripsi ini, yaitu “Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) dan Penerapannya pada peradilan di indonesia.” adalah karena belum adanya tulisan baik itu buku maupun artikel yang membahas secara rinci dan mendetail tentang gugatan perwakilan kelompok, telebih di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar tentang hal ini.
Berkaitan hal diatas, dalam sebuah bukunya “Hukum Acara Perdata,” M. Yahya Harahap , S.H. juga membahas tentang gugatan perwakilan kelompok, dimana dalam buku tersebut dijelaskan mengenai masalah gugatan perwakilan kelompok.
Selanjutnya dalam “Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXI No. 282 Mei 2009” yang ditulis oleh Dr. Susanti Adi Nugroho juga telah banyak membahas tentang gugatan perwakilan kelompok ini. Dalam tulisannya di mengatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok lebih ekonomis, efesien, mencegah pengulangan proses perkara, memberikan akses pada keadilan, mengurangi hambatan – hambatan bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi lemah dan merubah sikap perilaku pelanggaran dengan diterapkannya prosedur class action berarti memberikan akses yang lebih luas bagi para pencari keadilan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kasus yaitu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari secara mendalam terhadap suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat tertentu, tentang latar belakang, keadaan/ kondisi, faktor-faktor, atau interaksi-interaksi sosial yang terjadi di dalamnya .
2. Metode Pendekatan
a. Pendekatan yuridis adalah: pendekatan yang digunakan untuk mengetahui aturan-aturan yang berlaku pada lingkungan Pengadilan Agama termasuk yang mengatur tentang tata cara perceraian serta kriteria-kriteria yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian termasuk cacat badan dan sakit.
b. Pendekatan sosiologis, yaitu: pendekatan yang digunakan untuk mengetahui keadaan dan kondisi masyarakat dalam menjalankan gugatan perwakilan kelompok. Dalam hal ini dimaksudkan kepada para penegak hukum dalam penyelesaiannya.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu pengumpulan data teoritis dengan cara menelaah berbagai buku literatur dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Dengan mengakaji buku literatur yang berkaitan seperti buku Hukum Acara Perdata yang dikarang oleh M. Yahya Harahap, S.H, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXI No. 282 Mei 2009 yang ditulis oleh Dr. Susanti Adi Nugroho.
4. Analisis Data
Untuk mengolah data yang telah diperoleh lewat kedua metode pengumpulan data tersebut di atas maka, pengelolaan dan analisa data yang digunakan adalah :
1. Metode induktif, yaitu metode yang digunakan dengan jalan menarik kesimpulan khusus dari data- data yang bersifat umum.
5. Metode deduktif, yaitu metode yang digunakan dengan jalan menarik kesimpulan umum dari data- data yang bersifat khusus.
G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian adalah :
Untuk mengetahui bagaimana penerapan gugatan perwakilan kelompok pada Pengadilan.
2. Kegunaan penelitian :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut :
a. Sebagai masukan dan bahan informasi bagi para hakim pada Pengadilan Agama dalam menentukan kebijakan terhadap gugatan perwakilan kelompok.
b. Sebagai acuan dan bahan pustaka bagi pihak-pihak yang melakukan penelitian lanjutan pada objek yang sama.
H. Garis – Garis Besar Isi Skiripsi
Dalam garis-garis besar isi skripsi ini, penulis akan mengemukakan gambaran singkat mengenai isi skripsi ini.
Pada bab I sebagai bab pendahuluan, meliputi permasalahan, hipotesis, pengertian judul, kajian pustaka, setelah itu penulis mengemukakan alas an-alasan sehingga terangkatnya judul ini, kemudian metode apa yang digunakan, tujuan dan kegunaan penelitian dan penulis menutup bab ini dengan garis-garis besar isi skripsi.
Pada bab II penulis akan menguraikan tentang sejarah ringkas gugatan perwakilan kelompok, pengertian gugatan class action, dan penulis bab ini dengan dasar hukum gugatan class action di Indonesia.
Pada Bab III penulis akan menguraikan tentang mekanisme gugatan class action dengan sub bab: persyaratan formal gugatan class action, formulasi gugatan class action, proses pemeriksaan awal, penyelesaian melalui perjanjian kesepakatan perdamaian, pernyataan keluar, pemberitahuan, putusan hakim
Pada bab IV penulis akan menguraikan tentang penerapan class action di peradilan di Indonesia, adapun sub bab adalah: penerapan liberal dan restriktif, kewenangan hakim dan anggota kelompok terhadap kuasa hukum dan wakil kelompok, keuntungan dan kerugian class action, pendistribusian ganti rugi di peradilan
Bab V penulis menutup skripsi ini dengan beberapa kesimpulan dan saran.
1. Gugatan class action di Inggris
Inggris memperkenalkan prosedur class action berdasarkan judge made law dan khususnya untuk perkara-perkara berdasarkan equity yang diperiksa oleh Court of Chancery. Saat itu Court of Chancery mengadili suatu perkara yang melibatkan pihak penggugat yang jumlahnya puluhan dan ratusan orang secara kumulasi. Pengadilan secara administrasi mengalami kesulitan untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap gugatan tersebut. Muka mulailah pengadilan menciptakan prosedur class action, dimana puluhan atau ratusan orang yang mempunyai kepentingan sama tersebut tidak semuanya maju ke pengadilan melainkan cukup diwakili oleh satu atau beberapa orang. Pada awal diperkenalkannya prosedur class action di Court of Chancery tuntutan yang diajukan hanyalah tuntutan yangdidasarkan atas keadilan saja misalnya tuntutan accounting, declaration, atau injuction. Accounting adalah tuntutan permintaan pertanggungjawaban berdasarkan suatu hubungan yang bersifat fiduciary. Declaration adalah tututan yang berupa pernyataan atau pengakuan, misalnya pernyataan atau pengakuan hakhak para penggugat, pengakuan adanya tanggung jawab dari tergugat, pengakuan terhadap dasar gugatan dan sebagainya. Injuction adalah tuntutan yang berupa perintah bagi tergugat untuk tidak melakukan sesuatu dan bersifat preventif. Setelah adanya penggabungan antara law and equity di Inggris prosedur class action kemudian dapat dipergunakan untuk perkara-perkara baik yang didasarkan pada equity maupun law (misalnya tuntutan ganti rugi) dan diatur dalam Supreme Court of Judicature Act, 1873, kemudian dirubah dan diatur kembali dalam The English Rules of the Supreme Court (ERCS), pada tahun 1965.
2. Gugatan class action di Kanada
Kanada, mulai mengenal prosedur class action pertama kali di propinsi Ontario dengan dikeluarkannya the Ontario Judicature Act 1881, yang kemudian diperbaharui dengan Supreme Court of Ontario Rules of Practice (SCORP), pada tahun 1980. Ketentuan dalam class action di Ontario banyak meniru ketentuan class action di Inggris. Ketentuan tentang class action kemudian diatur lebih lengkap dalam Ontario Class Proccedings Act (OCPA) tahun 1992. Di Ontario kemudian dibentuk Ontario Law Reform Commission yang salah satu tujuannya adalah mengembangkan modelmodel class action di negara tersebut. Komisi ini secara rutin membuat buku pelaporan tentang perkembangan class action serta merekomendasikan perubahan-perubahan yang diperlukan. Di samping Ontario, beberapa propinsi atau negara bagian di Kanada seperti Quebec, Saskatchewan dan The British Columbia juga mengatur tentang class action. Di Quebec, reformasi hukum tentang class action terwujud atas inisiatif pemerintah federal serta the Law Reform Division of Department of Justice. Propins Saskatchewan, class action pertama kali diperkenalkan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran consumer credit rights. Prosedur class action di British Columbia diperkenalkan oleh British Columbia Law Reform Commission dan diatur dalam the British Columbia Class Proceeding Act (BCCPA) 1995 yang kemudian direvisi tahun 1996.
Dalam rangka mewujudkan prosedur class action yang seragam untuk seluruh propinsi di Kanada, the Uniform Law Conference of Canada telah berhasil membuat class Proceeding Act pada tahun 1996 yang diharapkan dapat diberlakukan di seluruh propinsi di Kanada. Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005
3. Gugatan class action di India
Di negara India, pengakuan terhadap prosedur class action mulai dikenal pada tahun 1908 dan diatur dalam Rule 8 of Order 1 of Civil Procedure 1908 sebagaimana diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut ketentuan tersebut, yang dimaksud class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap seseorang yang merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili seluruh kepentingan kelompok tersebut dengan syarat : (1) Ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai kepentingan yang sama, (3) pengadilan mengijinkan orang tersebut untuk menjadi wakil kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok.
4. Gugatan class action di Amerika Serikat
Amerika Serikat sudah mengatur prosedur class action sejak 1938 untuk sistem peradilan federal, yakni di dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure. Pada awalnya peradilan federal mengenal tiga jenis class action yaitu true class action, hybrid class action serta spurious class action. Aturan ini kemuidian direvisi pada tahun 1966 sehingga tiga jenis class action tersebut dihapus sehingga hanya dikenal dengan satu jenis class action sebagaiman yang diatur dalam Rule 23 the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966. Dalam Rule 23 (a) the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966 dijelaskan bahwa class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap satu orang atau lebih yang merupakan anggota dari suatu kelompok (class) yang bertindak untuk mewakili seluruh anggota kelompok tersebut, dengan syarat (1) ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai permasalahan hukum, fakta serta tuntutan yang sama serta (3) wakil yang representatif. Saat ini tiga puluh dua negara bagian mengikuti ketentuan yang diatur dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966. Enam belas negara bagian mengadopsi secara murni tanpa mengadakan modifikasi, sedangkan enam belas negara bagian telah membuat modifikasinya.
5. Gugatan class action di Australia
Australia pertama kali mengakui prosedur class action pada tahun 1970, tepatnya di negara bagian New South Wales dengan diatur dalam New South Wales Supreme Court Rules. Selanjutnya Peradilan Federal Australia mengatur class action dalam Federal Court of Australia Act pada tahun 1976. Pada akhirnya class action berkembang di seluruh negara bagian di Australia. Seluruh yurisdiksi negara bagian Australia mengenal prosedur class action dan pada umumnya diatur sebagai salah satu ketentuan prosedur berperkara di dalam Undang-undang yang mengatur hukum acara perdata mereka. Dengan kata lain, tidak diatur secara khusus dalam sebuah Undang-undang.
6. Sejarah class action di Indonesia dan perkembangannya dibagi menjadi dua periode :
Yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1. Periode sebelum adanya pengakuan class action
Sebelum tahun 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class action yang pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors. Perkara Bentoel Remaja yang diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta & Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemi demam Berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan Kasus YLKI melawan PT. PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan. Dalam gugatan Bentoel Remaja, Pengacara R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya namun juga mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan perusahaan rokok Bentoel. Dalam kasus demam berdarah, pengacara Muchtar Pakpahan selaku penggugat mendalilkan bahwa ia bertindak untuk kepentingan diri sendiri sebagai korban wabah demam berdarah maupun mewakili masyarakat penduduk DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa. Dari ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada satupun gugatan yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan :
• Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak ada kepentingan maka tidak aksi (point d’intetrest, point d’action). Hal ini diperkuat dalam yurisprudensi MA dalam putusannya pada tahun 1971 yang mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan hukum.
• Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, dalam 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan suatu Surat Khusus.
• Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class action, baik soal definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan.
• Bahwa class action lebih didominasi di negara yang menganut stelsel hukum Aglo Saxon, sementara tradisi hukum di Indonesia lebih dominann dipengaruhi oleh stelsel hukum eropa kontinental.
2. Periode setelah adanya pengakuan class action
Class Action dalam Hukum Positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Namun pengaturan class action hanya terbatas dan diatur dalam beberapa pasal saja. Selain itu ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (Class Action). Sebelum tahun 2002, gugatan secara class action umumnya dilakukan tanpa adanya mekanisme pemberitahuan bagi anggota kelompok dan pernyataan keluar dari anggota kelompok. Gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa.
Ketentuan yang secara khusus mengenai acara dan prosedur Class Action baru diatur pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 mengatur tentang kewajiban pemberitahuan bagi wakil kelompok dan membuka kesempatan keluar dari gugatan class action bagi anggota kelompok (opt out).
B. Pengertian Class Action
Ada beberapa definisi yang mencoba menjelaskan istilah class action, baik menurut kamus hukum, peraturan perundangan maupun dari ahli hukum.
1. Meriam Webster Colegiate Dictionary
Dalam Meriam Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 disebutkan yang dimaksud class action : a legal action under taken by one or more plaintiffs on behalf of themselves and all other persons havings an identical interest in alleged wrong.
2. Black’s law dictionary
Class action adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili.
3. Glorilier Multi Media Encyclopedia
Class action adalah gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih anggota kelompok masyarakat mewakili seluruh anggota kelompok masyarakat.
4. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dimaksud class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
5. Acmad Santosa
Sedangkan Acmad Santosa menyebutkan Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang sebagai perwakilan kelas (class repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Class Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili.
Pengertian Gugatan Class Actions Menurut PERMA No. 1 Tahun 2002
Di Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Sedangkan menurut Yahya Harahap dari PERMA No. 1 Tahun 2002 diatas menerangkan bahwa istilah ang digunakan adalah:
• Acara gugatan perwakilan kelompok (GPK)
• Hal itu ditegaskan dalam diktum PERMA itu sendiri pada bagian menetapkan yang menyebur tentang acara gugatan perwakilan kelompok atau representative action.
Jadi pengertian gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih dan membuat ketua kelompok, orang itu berindak mewakili kelompok yang jumlahnya banyak sekaligus untuk dirinya sendiri dengan syarat yang mewakili kelompok dengan anggota kelompok memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum.
Berdasarkan pengertian tersebut, jelaslah bahwa Gugatan Perwakilan Kelompok memberi kesempatan bagi sekelompok orang dalam jumlah banyak untuk mengajukan gugatan dalam 1 (satu) gugatan yang mewakili seluruh anggota kelompok, sehingga masing-masing anggota kelompok tidak harus membuat gugatan sendiri-sendiri.
Ada beberapa perbedaan antara gugatan perwakilan kelompok dengan gugatan biasa, antara lain :
KRITERIA PERDATA BIASA CLASS ACTION
Penggugat Orang Pribadi/badan hukum Sekelompok orang yang memiliki kesamaan
Kasus/Permasalahan Kepentingan Pribadi Memilki kesamaan dalam :
- Masalah
- Fakta Hukum
- Tuntutan
Jumlah Orang Satu atau lebih orang Ratusan, ribuan, yang diwakili oleh beberapa/sekelompok orang yang menderita kerugian
Perwakilan Diwakili oleh Kuasa Hukum Diwakili oleh sekelompok orang yang menderita kerugian
Kuasa Hukum Memakai kuasa hukum Memakai kuasa hukum
Biaya Mahal Ekonomis, Murah dan cepat
C. Dasar Hukum Gugatan Class Action di Indonesia
Adapun dasar hukum gugatan class action di Indonesia yang dapat dijadikan acuan dalam menghadapi perkara seperti ini adalah sebagai berikut:
1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
BAB III
MEKANISME GUGATAN CLASS ACTION
A. Persyaratan Formal Gugatan Class Action
Dari beberapa definisi class action dan yang telah digariskan dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 maka didapatkan persyaratan formal gugatan class action terdiri dari:
1. Gugatan secara perdata
Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat. Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.
2. Ada kelompok (class)
Yang membentuk atau membangun terwujudnya suatu kelompok atau kelas menurut hukum, terdiri dari sekian banyak perorangan (individu). Perorangan yang banyak itulah yang menampilkan kelompok atau kelas yang dapat diketahui atau dipastikan yang disebut ascertainable class. Keberadaan kelompok terdiri dari dua komponen. Hal itu dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 2 huruf a dan c PERMA.
a. Perwakilan kelompok (class resperentative)
Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota Kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke Pegadilan maka kedudukan dari wakil Kelompok sebagai penggugat aktif. Gambaran dan keberadaan serta kapasitas wakil kelompok menurut hukum, memiliki karakter sebagaimana diuraikan dibawah ini:
1) Orang yang tampil bertindak mengambil inisiatf mengatasnamakan diri sebagai kelompok, adapun tindak hukum yang dilakukan adalah mengajukan gugatan dan diajukan untuk atas nama sendiri dan sekaligus atas nama anggota kelompok seabgai wakil kelompok
2) Jumlah wakil kelompok, dalam hal ini boleh terdiri dari satu orang saja dan dapar juga terdiri dari beberapa orang.
Jumlah yang dianggap ideal, tidak terlampau banyak agar tidak menimbulkan konflik interest diantara mereka atau kalau terlampau banyak. Sulit untuk dicapai kata sepakat dalam mengambil keputusan tentang suatu masalah. Sebaliknya, kalau seorang saja, dianggap tidak memadai jika dihubungkan dengan masalah biaya pelaksanaan pemberitahuan kepada kelompok maupun pengelolaan pengadministrasian anggota kelompok.
3) Kedudukan dan kapasitas wakil kelompok
Kedudukan dan kapasitasnya menurut hukum adalah kuasa menurut hukum (legal mandatory) atau wettelijke vertegenwoordig, yaitu peraturan perundang-undangan sendiri (dalam hal ini PERMA) yang member hak dan kewenangan bagi wakli kelompok sebagai kuasa kelompok demi hukum. Dengan demikian, hanya memberikan surat kuasa khusus dari anggota kelompok dan tanpa memerlukan persetujuan dari anggota kelompok (pasal 4), demi hukum bertindak mewakili kelompok. Ketentuan ini sama dengan Amerika yang menggariskan, the individual who wants to intiate a class action, need not get the permission of potential class members before moving for certification.
4) Bagi anggota kelompok yang tidak setuju, diberi hak untuk optong out karena dalam opting out ini ada hak dengan menyatakan diri dengan tegaa keluar sebagai anggota kelompok dan hal itu dilakukan dalam batas waktu tertentu (pasal 8 ayat 1). Dengan adanya opting out , kepadanya tidak mengikat putusan yang dijatuhkan pengadilan (pasal 8 ayat 2).
5) Syarat wakil kelompok (pasal 2 huruf C) adalah memiliki kejujuran dan memiliki kesanggupan melindungi kepentingan anggota kelompok. Hanya itu syarat yang harus dipenuhi wakil kelompok. Hanya saja sangat sulit menilai kejujuran dan kesungguhan tersebut, karena sifatnya abstrak dan subjektif. Selain itu, siapa yang berhak menilainya?.
6) Wakil kelompok dapat menunjuk kuasa atau pengacara (pasal 2 huruf d) karena kuasa dapat diganti, baik atas kehendak wakil kelompok atau anjuran hakim. Dalam penggantian dapat dilakukan, apabila kuasa melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban memela anggota kelompok.
b. Anggota Kelompok (Class members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke Pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. Jumlah anggota kelompok banyak (numerous persons). Sebagaimana telah dituliskan pada bab sebelumnya mengenai dasar hukum class action, tepatnya pada PERMA pasal 2 huruf a berbunyi: Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam gugatan.
Memperhatikan ketentuan diatas, agar gugatan perwakilan kelompok atau class action memenuhi syarat ditinjau dari unsur anggota kelompok, jika gugatan sedemikian rupa banyaknya konstituennya, sehingga dianggap tidak efersien dan efektif dalam penyelesaian perkara melalui proses kumulasi objektif dan subjektif atau melalui proses intervensi dalam bentuk voeging berdasarkan pasal 279 Rv, oleh karena itu, kalau anggotanya hanya terdiri atas 5 orang atau 10 orang, dianggap tidak memenuhi syarat berperkara melalui mekanisme class action, karena masih lebih efektif dan efesien melalui gugatan kumulasi.
Karena dalam PERMA tidak menentukan batas minimal, maka timbul pertanyaan, berapa orang yang dianggap efesien dan efektif agar memenuhi gugatan class action yang digariskan dalam pasal 2 huruf a PERMA tersebut?. Bagaimana jika jumlah anggotanya sedikit (handluf of members)?. ternyata dalam PERMA tidak mengatur batas minimal. Kekosongan ini dapat menimbulkan pebedaan penafsiran. Ditinjau dari ilmu yurispudensi perumusan anggota kelompok sedemikian banyak, merupakan perumusan yang sangat luas (broad term)
Bagaimana kalau konstituennya sedikit, tetapi diajukan melalui proses gugatan perwakilan kelompok. Misalnya, anggota hanya 5 atau 10 orang. Mungkin lebih efektif dan efesien diproses melalui gugatan biasa dalam bentuk kumulasi atau intervensi dalam bentuk voeging berdasarkan pasal 279 Rv. Proses pemikirannya lebih jauh sederhana disbanding gugatan perwakilan kelompok. Oleh karena itu, kalau anggotanya hanya 5 orang atau 10 orang, permohonan gugatan perwakilan kelompok lebih tepat dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dinyatkan tidak dapat ditema, di samping itu harus diajukan melalui gugatan perdata biasa.
Di Amerika, federal trade commission improvement, menentukan batas minimal anggota kelompok yang dianggap memenuhi syarat mengajukan proses berperkara secara class action, minimal 100 orang yang tergolong anggota kelompok.
Terlepas dari penentuan batas minimal tersebut, ada yang berpendapat bahwa tidak perlu ditetapkan secara pasti batas jumlah anggota kelompok yang dianggap memenuhi syarat numerousity. Praktek berkembang jarang mempersoalkan batas minimal dan maksimal secara pasti (fixed)
Bagaimana halnya kalau tidak dibatasi jumlah maksimal, sehingga sedemikian rupa besarnya jumlah anggota kelompok yang terkait anggota kelompok gugatan perwakilan kelompok? Apakah hal ini tidak mengakibatkan proses penyelesaian menjadi tidak sederhana lagi? Pada dasrnya tidak menimbilkan masalah,
Karena solusi tentang itu ditampung pada pasal 3 huruf e PERMA. Menurut pasal ini, apabila anggota kelompok dangat banyak maka dapat dibagi dalam subkelompok dan jika tuntutan dan sifat kerugian yang dialami anggota kelompok yang digariskan pasal 2 huruf a.
Dalam gugatan harus jelas didefenisiakan deskripsi kelompok yang terlihat dalam gugatan perwakilan kelompok yang dsiajukan. Hal ini diatur secara tegas dalam PERMA pasal 3 huruf b yang mengatakan, gugatan memuat definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.tujuannya agar diketahui dengan jelasapakah kelompok yang disebutdalam gugatan memenuhi syarat commonality dan numerousity. Dalam praktik dan pengkajian, muncul beberapa pendapat mengenai deskripsi kelompok dalam gugtan, yaitu:
a) Deskripsi tidak terlampau umum
Apakah deskripsi kelompok cukup atau boleh dirumuskan secara umum? Misalnya apa boleh dirumuskan bahwa oihak penggugat terdiri dari kelompok tertentu? Umpamanya dirumuskan penggugat terdiri dari karyawan yang menerima kesejahteraan dari koperasi tertentu. Atau apakah perumusannya boleh dideskripsi dengan kalimat semua orang miskin yang ada di Makassar tanpa mengemukakan factor objektif siapa yang dimaksud siapa orang miskin yang dihubungkan kaitannya dengan keanggotaan kelompok?.
Deskripsi semua orang Makassar miskin dianggap terlampau umum. Perumusannya masih kabur, masih perlu dikonkretisasi. Sedangkan deskripsi karyawan pada contoh diatas, pada dasarnya dianggap memenuhi syarat, karena deskripdi itu dapat diketahiu dan dapat dipastikan dengan jelas siapa yang dimaksud anggota kelompok. Akan tetapi semua orang Makassar miskin dianggap sangat umum dan kabur masih diperlukan perumusan yang konkret, misalnya dengan cara menyebutkan berapa pendapatan tertentu.
b) Deskripsi tidak terlampau spesifik
Seperti dikatakan, deskripsi kelompok yang dibenarkan terlampau uumum, sehingga dituntut deskrpsi yang bercorsk spesifik, yang mudah diketahui dan dipastikan. Namun demekian, hokum tidak menuntut deskripsi kelompok yang terlampau spesifik.
c) Patokan deskripsi kelompok
Dari uraian diatas, meskipun dari segi teoritidak sulit mendeskripsi kelompok yang memenuhi syarat, namun dari segi praktik tidak mudah mendeskripsi dalam gugatan. Hampir semua sependapat, dalam praktik sulit mendekripsi kelompok yang bercorak spesifik yang dianggap memenihi syarat. Sehubungan dengan kenyataan itu muncul pendapat, penilaian tentang deskripsi yang diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim. Namun demikian, agar penilaian itu tidak bersifat subjektif perlu ditetapkan patokan sebagai landasan acuan yang mana perumusannya bukan deskripsi yang kabur karena pada prinsipnya deskripsi itu dapat menghindari kesulitan pengelolaan administrasi anggota kelompok yang bersngkutan.
Dalam syarat formulasi gugatan class action ini PERMA tidak mengatur kemungkinan mempergunakan nama penghuni. Semestinya pasal 2 PERMA mengatur kemungkinan mempergunakan nama penghuni dalam gugatan perwakilan kelompok, asalkan yang mengatas namakan nama kelompok itu, benar-benar penghuni nyata dalam pada saat gugatan diajukan. Sebenarnaya bertitik tolak dari ketentuan pasal 1 huruf b yang mengatakan wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang banyak jumlahnya, berarti tidak selamanya kelompok itu berdiri dari mereka yang berada pada lingkungan pekerjaan atau kota maupun daerah tertentu, tetapi dapat juga berdasarkan faktor penghunian pada gedung bangunan, kompleks atau lembaga tertentu.yang penting dipenuhi, anggota penghuninya banyak sehingga memenuhi garis yang digariskan pasal 2 huruf a yaitu (numerous)
Dengan demikian, gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan untuk dan atas nama penghuni penjara, penghuni rumah sakit dan penghuni panti asuhan dan sebagainya.
Akan tetapi, perlu diingat yang sah dan boleh mengatasnamakan kepentingan penghuninya yang benar benar masih berada dalam oleh karena itu gugatan perwakilan kelompok atas nama penghuni tidak sah apabila yang mengajukan terdiri dari orang yang buka penghuni lagi.
Pada perinsipnya, hukum tidak menuntuk agar gugatan mengedintifikasi anggota kelompok secara satu persatu indifidual, dengan acuan penerapan, apa mungkin boleh disebut satu persatu secara indifidual, tetapi dibenarkan menyebut berdasarkan perkiraan atau berdasarkan statistical. Boleh terbatas pada daerah tertentu,t api dapat juga lintas kota atau daerah maupun secara nasional.
3. Kesamaan fakta atau dasar hukum
Syarat yang kedua yang digariskan dalam pasal 1 huruf a adalah kesamaan atau commonolity. Asas kesamaan menurut pasal tersebut adalah kesamaan fakta atau dasar hukum, diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang digunakan dalam gugatan dan kesamaan fakta atau dasar hukum itu bersifat subtansial.
Dengan demikian, untuk menetukan kategori apakah satu gugatan dapat diajukan dan diproses melalui gugatan perwakilan kelompok atau gugatan perdata konvensional, ditentukan syarat atau faktor. Kesamaan elemen (common element) antara wakil kelompok dan wakil kelompok, kesamaan element yang paling penting menurut pasal satu huruf a PERMA adalah kesamaaan fakta atau kesamaan hukum yang dilanggar tergugat, kesamaan yang dimaksud adalah harus dijelaskan wakil kelompok dalam gugatan dengan ketentuan tidak berarti kesamaan fakta tau dasar hukum itu harus persis serupasecara mutlak dan dimungkinkan adanya perbedaan dengan syarat pebedaan itu tidak subtansial dan perinsipil, perbedaan yang terjadi antara anggota, tidak bersifat kepentingan persaingan
Sebagai ilustrasi,dapat dikemukakan jenis perbedaan dan besarnya ganti rugi yang dialami kelompok yang timbul dari obat yang dimakan konsumen. Perbedaan dalam kasus ini dapat ditolerir atas alasan, perbedaan itu tidak subtansial, karena tidak sampai melenyapkan kesamaan fakta atau dasar hukum gugatan. Disamping itu juga fakta tentang penyebab timbilnya kerugian bagi seluruh anggota kelompok adalah sama yaitu karena mengomsumsi obat tergugat, dengan demikian dasar hukumnya sama yakni perbuatan melawan hukum dalam bentuk pertanggungjawaban produksi yang digariskan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Ada persyaratan–persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan prosedur class action. Tidak terpenuhi persyaratan ini dapat mengakibatkan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima. Di beberapa negara yang menggunakan prosedur class action pada umumnya memiliki persyaratan umum yang sama yaitu :
1) Adanya sejumlah anggota yang besar (Numerosity)
Jumlah anggota kelompok (class members) harus sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri (individual).
2) Adanya kesamaan (Commonality) Sejenis (Typicality)
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini.
Tuntutan (bagi plaintiff Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class Action) dari seluruh anggota yangdiwakili (class members) haruslah sejenisPada umumnya dalam class action, jenituntutan yang dituntut adalahpembayaran ganti kerugian.
3) Wakil kelompok yang jujur (Adequacy of Repesentation)
Wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidaklah mudah, hal ini sangat tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Namun, dalam hal wakil kelompok mewakilkan proses beracara kepada pengacara, maka wakil kelompok harus memberikan surat kuasa khusus kepada pengacara pilihannya.
Demikian secara singkat yang penulis dapat paparkan secara ringkas mengenai pengkajian penerapan syarat kesamaan fakta atau dasar hukm yang harus diperhatikan dalam pengajuan gugatan perwakilan kelompok.
4. Kesamaan jenis tuntutan
Syarat ini berkaitan dengan erat syarat kesamaan fakta atau dasar hukum. Namun demikian syarat kesamaan jenis tuntutan secara impilisit disebut dari pasal 1 huruf b Yang berbunyi: Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok yang lebih banyak jumlahnya.
Jika ketentuan pasal tersebut diamati lebih teliti dapat dikemukakan kandungan yang terdapat didalamnya, antara lain :
a) Adalah kelompok yang diwakili oleh satu orang atau beberapa orang yang mengalami penderitaan atau bencana
b) Jumlahnya anggota kelompok banyak
c) Diantara wakil dan anggota kelompok terdapat persamaan kepentingan
d) Pemulihan yang dituntut menurut sifatnya bermanfaat untuk semua anggota kelompok
e) Bentuk kelompoknya dapat diskripsi karastristikny dengan jelas, sehingga tidak sulit mengelola pengatministrasiannya
Dengan demikian kira-kira kandungan makan yang terdapat dengan syarat kesamaan jenis tuntutan, akan tetapi tanpa mengurangi penjelasan diatas ada yang mengartikan kesamaan jenis tuntutan serupa dengan commoninterest dan commongriefance dalam arti luas, oleh karena itu dapat juga disebut kesamaan tujuan tetapi dapat juga ditafsirkan kesamaan penderitaan dan sebagai akibat dari semua itu adalah timbul jenis kerugian yang sama yang dialami wakil kelompok dan anggota kelompok, pada dasarnya betuk kerugian itu nyata atau kerugian material tetapi juga bersifat kerugian inmaterial
Bertitik tolak dari persamaan penderitaan itu, terjadi dan terwujud bentuk kerugian yang sama juga membari hak bagi seluruh anggota yang mengajukan kesamaan jenis tuntutan. Yang penting paling umum dan realistis pembayaran ganti rugi akan tetapi dapat juga berbentuk atau diikuti dengan tuntutan permintaan maaf kepada kelompok, penutupan perusahaan dan pemulihan atas kerusakan yang timbul.
Dari penjelasan tersebut pada dasarnya kesamaan jenis tuntutan merupakan rangkaian dari kesamaan kepentingan dan kesamaan penderitaan. Dari rangkaian itu lahir dan terwujud kesamaan tuntutan hukum.
B. Formulasi Guatan
Mengenai formulasi gugatan perwakilan kelompok, merujuk kepada ketentuan Pasal 3 dan Pasal 10 PERMA. Menurut kalimat pertama Pasal 3 dikatakan, persyaratan-persyaratan formal gugatan perwakilan kelompok, tetap duduk kepada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata, dalam hal ini HIR dan RBG, namun harus juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 PERMA. penerapan yang seperti itu secara umum ditegaskan juga dalam Pasal 10, berbunyi: ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata erlaku, di samping ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini.
Sehubungan dengan itu, ada dua sisi formulasi gugatan yang perlu diperhatikan agar gugatan perwakilan kelompok yang diajukan tidak cacat formil.
1. Persyaratan Umum Berdasarkan Hukum Acara
Sebenarnya jika diperhatikan ketentuan Pasal 3 PERMA, hampir terdapat persamaan syarat-syarat formulasi gugatan dengan yang diatur dalam HIR atau RBG. Namun demikian, untuk mendapat gambaran yang jelas, akan dikemukakan secara ringkas deskripsinya sebagai berikut:
1) Mencantumkan dan mengalamatkan gugatan berdasarkan kompentensi relatif (yurisdiksi relatif) sesuai dengan sistem dan patokan yang digariskan Pasal 118 HIR.
2) Mencantumkan tanggal pada gugatan meskipun pencantuman itu tidak diatur secara tegas, namun dalam praktik peradilan telah dianggap sebagai salah satu syarat formulasi gugatan, meskipun sifatnya tidak imperatif.
3) Gugatan ditandatangani penggugat atau kuasanya, tanda tangan ditulis dengan tangan sendiri, berupa inisial nama penanda tangan, boleh berbentuk cap jempol berdasarkan St. 1919-776, apabila penggugat tidak pandai menulis.
4) Menyebut identitas para pihak yang terdiri dari minimal seperti yang diatur Pasal 118 ayat (1) HIR: nama lengkap dan alias (jika ada) dan alamat atau tempat tinggal. Apabila alamat dan tempat tinggal tergugat tidak diketahui, dapat dipedomani cara perumusan yang digariskan Pasal 390 ayat (3) HIR.
5) Mencanturnkanfitndamenturn petendi yang terdiri dari dasar hukum gugatan (rechlelijke gronds) dan dasar fakta gugatan (feitelijk-e gronds).
6) Memuat petitum gugatan yang bisa berbentuk deskripsi tunggal, boleh juga berbentuk alternatif atau subsidiairy yang masing-masing
dideskripsi atau berbentuk subsidair dalam bentuk ex-aequo et bono.
Itulah pokok-pokok formulasi gugatan secara umum. Tentang hal ini telah diuraikan secukupnya secara mendetail pada ruang lingkup permasalahan gugatan contentiosa.
2. Persyaratan khusus berdasarkan Pasal 3 PERMA
Seperti yang dikatakan, di antara syarat umum yang diatur dalam Hukum Acara, ada yang sama dengan ketentuan yang disebut pada Pasal 3 PERMA. Namun demikian, persyaratan itu akan dideskripsi satu per satu, yang terdiri dari:
a) Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok.
Huruf a ini hanya memerintahkan penyebutan identitas penggugat, dalam hal ini wakil kelompok. Namun tidak mengurangi keharusan menyebut identitas tergugat sesuai dengan ketentuan umum yang digariskan Hukum Acara.
b) Definisi kelompok secara rinci dan Spesifik, walaupun tanpa menyebut nama anggota kelompok satu per satu.
Mengenai masalah definisi dan deskripsi kelompok sudah dijelaskan pada uraian terdahulu. Di situ dikemukakan kesimpulan mengenai patokan deskripsi kelompok gugatan perwakilan kelompok dengan acuan perumusan definisinya tidak bersifat deskripsi yang kabur (unvague escription), tetapi jugs tidak dituntut deskripsi yang terlampau spesifik, oleh karena itu, pada prinsipnya deskripsi yang dianggap memadai, asal dapat Menghindari kesulitan mengelola pengadministrasian anggota kelompok yang bersangkutan.
c) Keterangan tentang Anggota Kelompok yang Diperlukan dalam Kaitan dengan Kewajiban Melakukan pemberitahuan.
Ketentuan ini tidak dijumpai dalam formulasi gugatan berdasarkan Hukum Acara, karena dengan mencantumkan identitas pare pihak, pemberitahuan atau panggilan sudah dapat dipenuhi, sebab secara riil mereka tampil dalam gugatan. Demikian halnya dalam gugatan perwakilan kelompok, yang tampil secara nyata dalam proses perkara, hanya wakil kelompok (class representative), sedangkan identitas anggota kelompok tersembunyi atau inabsentee di batik identitas wakil kelompok. Anggota kelompok adalah penggugat yang tidak hadir atau inabsentee di forum persidangan. Karena itu, apabila satu seat diperlukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, perlu diterangkan keberadaan mereka dalam gugatan dan keterangan sedemikian rupa sehingga langkah tindakan pemberitahuan itu dapat terlaksana efektif.
d) Posita dari Seluruh Kelompok baik Wakil Kelompok maupun Anggota Kelompok, yang Teridentifikasi maupun Tidak Teridentifikasi Dikemukakan secara Jelas dan Rinci.
Mengenai syarat ini, sama dengan ketentuan umum. Berarti harus jelas dasar hukum dan dasar fakta landasan dalil gugatan. Cuma yang perlu diperhatikan dalam syarat ini, perlu ada penegasan bahwa dalil gugatan itu meliputi landasan gugatan seluruh kelompok yang terdiri dari wakil dan anggota kelompok.
e) Penegasan tentang Beberapa Bagian Kelompok atau subkelompok.
Syarat ini tidak bersifat imperatif secara permanen, tetapi secara kondisional, dengan acuan penerapan, sepanjang tidak ada secara objektif subkelompok berdasarkan perbedaan. Jenis dan jumlah ganti rugi, gugatan tidak perlu memuat hat itu. Dengan demikian keharusan merumuskan penegasan subkelompok dalam gugatan perwakilan kelompok, apabila hat itu secara nyata memang ada, dalam hal yang demikian gugatan perwakilan kelompok hanya menyebut atau memformulasi subkelompok yang ada, dan menyebut perbedaan sifat dan tuntutan ganti rugi bagi setiap subkelompok.
f) Tuntutan atau Petitum tentang Ganti Rugi Petitum tentang ganti rugi.
Harus dikemukakan dengan jelas dan rinci tentang ganti rugi memuat atau menjelaskan cara pendistribusian ganti rugi itu kepada seluruh anggota kelompok, usul pembentukan tim atau panel yang bertindak membantu kelancaran pendistribusian ganti rugi.
Pada dasarnya, ketentuan ini sama dengan aturan umum yang digariskan Hukum Acara. Namun dalam gugatan perwakilan kelompok, terdapat tambahan formulasi mengenai pendistribusian dan tim yang membantu kelancaran pembayaran ganti rugi.
C. Proses Pemeriksaan Awal
Mengenai proses pemeriksaan gugatan perwakilan kelompok terdapat dua sistem. Pertama; tahap proses pemeriksaan awal yang tunduk kepada ketentuan Pasal 5 PERMA. Kedua; tahap proses pemeriksaan biasa yang tunduk kepada hukum acara yang digariskan IIIR/RBG, yang berkenaan dengan replik-duplik, pembuktian, konklusi, dan pengucapan putusan.
Sepanjang mengenai tahap proses pemeriksaan biasa, fidak dibahas pada bagian ini. Uraian akan difokuskan pada tahap proses pemeriksaan awal persidangan.
1. Pengertian dan Tujuan Proses PemeriksaanAwaI
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) istilah yang dipergunakan, awal proses pemeriksaan persidangan. Namun secara teknis yustisial, lebih tepat disebut lahap proses pemeriksaan awal atau lazim disebut preliminary certificate test, atau preliminary hearing. Adapun tujuan dan fungsi proses pemeriksaan awal (preliminary hearing):
a) Merupakan tahap pemeriksaan atau pembuktian tentang sap atau tidak persyaratan gugatan perwakilan kelompok yang diajukan.
b) Sehubungan dengan itu, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok yang bersangkutan.
c) Dasar landasan menguji kriteria tersebut, merujuk dan bertitik tolak dari ketentuan Pasal 2 PERMA.
Berarti yang wajib diperiksa dan dipertimbangkan hakim dalam tahap proses pemeriksaan awal, berkenaan dengan hal berikut:
a) Adanya kelompok yang terdiri dari:
wakil kelompok yang memenuhi syarat:
- memiliki kejujuran, dan
- memiliki kesungguhan melindungi kepentingan anggota kelompok;
anggota kelompok yang memenuhi syarat:
- Jumlahnya banyak (numerous), dan
- Kelompoknya dapat didefmisikan atau dideskripsi secaraielas dan spesifik.
b) Terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum:
kesamaan itu bersifat substansial antara wakil dengan anggota kelompok,
kesamaan itu tidak mengandung persaingan kepentingan (competing interest), antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
c) Terdapat kesamaan jenis tuntutan:
dapat juga diartikan kesamaan kepentingan (common interest) atau kesamaan tujuan (common purpose),
boleh juga didasarkan pada kesamaan penderitaan (common grievance).
Mengenai masalah ini, sudah dijelaskan lebih jauh pada uraian terdahulu. Apa disinggung di atas, hanya ringkasan saja agar lebih mudah memahami maksud iingsi tahap proses pemeriksaan awal. Dengan demikian, yang wajib diperiksa m dalam tahap ini meliputi syarat yang disebut Pasal 2 PERMA, yang terdiri:
a) definisi dan deskripsi kelompok, apakah memenuhi syarat spesifik
b) wakil kelompok apakah jujur dan benar-benar mengurus kepentingan kelompok; apakah jumlah kelompok memenuhi syarat numerousity sehingga tidak efektif dan efisien penyelesaian parkas melalui gugatan biasa
c) menilai dan mempertimbangkan apakah terdapat kesamaan fakta hukum atau dasar hukum maupun kesamaan kepentingan atau tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
2. Dapat Memberi Nasihat
Pasal 5 ayat (2) mengatur kewenangan hakim memberi nasihat kepada ;gugat dan tergugat berkenaan dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 3. gan demikian, kewenangan dan fungsi memberi nasihat tersebut secara hukum ~ tahap proses pemeriksaan awal:
a) Hanya terbatas sepanjang hal-hal yang menyangkut persyaratan formal gugatan yang diatur dalam Pasal 3 saja,
b) diluar itu, hakim tidak dibenarkan memberi nasihat,
c) nasihat itu diberikan sesudah hakim melakukan pemeriksaan atau penilaian kriteria gugatan.
Sebenamya kewenangan hakim memberi nasihat, tidak hanya dalam proses Pasal 119 HIR sendiri telah menegaskan hal itu, bahwa Ketua Pengadilan eri berwenang memberi nasihat dan pertolongan kepada penggugat atau igat maupun kepada kuasa tentang hal yang berkenaan dengan mengajukan gugatan, apakah gugatan itu telah memenuhi syarat formil atau tidak. Ketentuan ini pun sejalan dengan amanat Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, sebagai¬inana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 yang menegaskan, bahwa di dalam perkara perdata, pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat- dan biaya ringan.
3. Menerbitkan Penetapan gugatan perwakilan kelompok Sah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan (4), hakim menerbitkan penetapan pengadilan, apabila telah selesai dilakukan pemeriksaan kriteria gugatan yang diajukan. Jika hakim berpendapat gugatan perwakilan kelompok yang diajukan sah memenuhi syarat yang digariskan Pasal 3 PERMA, maka pengadilan menerbitkan penetapan yang berisi diktum atau amar:
a) menyatakan sah gugatan gugatan perwakilan kelompok,
b) memberi izin umuk beperkara.nielalui proses gugatan perwakilan kelompok,
c) selanjutnya memerintahkan penggugat segera mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
Ada yang mengatakan, penetapan izin untuk beperkara melalui proses gugatan perwakilan kelompok disebut sertifikat awal atau preliminary certificate test, dan perintah melanjutkan pemeriksaan perkara disebut certificate order.
4. Menjatuhkan putusan gugatan perwakilan kelompok tidak sah.
Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (5) PERMA yang menyatakan bahwa apabila dari hasil pemeriksaan kriteria gugatan, gugatan perwakilan kelompok tidak sah, karena tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 3, maka pernyataan tidak sah itu, dituangkan dalam bentuk putusan, yang berisi dictum, menyatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok tidak sah dan memerintahkan pemeriksaan dihentikan.
Demikian gambaran ruang lingkup tahap proses pemeriksaan awal persidangan. Kalau gugatan perwakilan kelompok dianggap sah, hakim menerbitkan penetapan yang berisi pemberian izin beperkara melalui sistem gugatan perwakilan kelompok. Sebaliknya, kalau gugatan dianggap tidak memenuhi kriteria yang digariskan Pasal 3, gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah. Pernyataan itu dituangkan dalam bentuk putusan yang berisi perintah menghentikan pemeriksaan perkara. Sistem proses pemeriksaan awal yang digariskan Pasal 5 tersebut, hampir sama dengan Pasal 23 Federal Rule Amerika Serikat, yang disebut preliminary certificate test. Apabila hasil pemeriksaan kriteria class action yang diajukan penggugat memenuhi syarat, hakim menerbitkan Sertification order"
Syarat yang paling pokok untuk menerbitkan sertifikat, hampir sama dengan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 3 PERMA, yaitu:
a) there be a class (ada kelompok):
yang bersifat ascertainable (dapat dipastikan),
specific (spesifik atau terinci):
- not vague (tidak kabur),
- not too specific (tidak terlampau spesifik).
b) Commonality, that the action raises question of law or fact common tee class.
c) Class Representative:
fair Oujur),
adequate protection to the interest of the class (kesungguhan membela kepentingan kelompok).
Tidak semua negara menganut sistem preliminary certificate test. Misalnya Australia tidak mengenal sistem sertifikasi dalam mengesahkan class action. Asalkan terpenuhi syarat substansial, class action dapat dibenarkan.
5. Penetapan sah gugatan perwakilan kelompok bersifat final
Menurut Pasal 5 ayat (3) PERMA, pernyataan gugatan gugatan perwakilan kelompok sah dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan. Akan tetapi, pasal tersebut tidak menjelaskan, apakah penetapan itu bersifat final atau tidak. Tidak ada penegasan tentang itu dapat menimbulkan perbedaan penafsiran, sehingga penyelesaian sengketa bila menghambat. Oleh karena penegasan tentang finalnya penetapan tidak ada kemungkinan praktik dapat tederumus pada standar ganda. Pada suatu ketika ada yang menjerit dan bersuara keras, terhadap penetapan dapat diajukan banding, dan pada waktu lain bersikukuh, terhadap penetapan tidak dapat diajukan banding. Memang benar Pasal 9 UU No. 20 Tahun 1947 telah menegaskan, yang dapat dibanding adalah putusan akhir (final judgement). Sedangkan putusan (interim award) tidak dapat dibanding. Banding terhadap penetapan atau putusan sela, harus diajukan bersama-sama dengan putusan akhir. Dengan demikian, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 9 UU No. 20 Tahun 1947, terhadap penetapan yang terbitkan Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 5 ayat (3) PERMA, tidak diajukan banding. Akan tetapi, pengalaman praktek telah mempertontonkan tragedy. Banyak ditemukan peristiwa pengajuan banding terhadap putusan sela. Tragedi seperti itulah yang dikhawatirkan terhadap penetapan dimaksud, seharusnya, untuk memperkecil tindakan irrasional, berupa pengajuan banding terhadap penetapan itu, Pasal 5 ayat (3) PERMA harus dengan tegas menyatakan penetapan bersifat final dan terhadapnya tertutup upaya banding.
D. Penyelesaian Melalui Perjanjian Kesepakatan Perdamaian
Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat (wakil kelompok) harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Umumnya upaya perdamaian dilakukan di luar proses persidangan. Apabila pihak penggugat (wakil kelompok) dan tergugat sepakat dilakukan perdamaian maka diantara para pihak dilakukan perjanjian perdamaian. Lazimnya perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai. Berdasarkan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat.
Kekuatan putusan perdamaian sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.
Penyelesaian melalui perdamaian diatur dalam Pasal 6 PERMA yang berbunyi: Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal dimaksud dapat dijelaskan hal-hal berikut:
1. Hakim wajib mendamaikan
Pasal ini berisi perintah kepada hakim, wajib mendamaikan para pihak. Namun dalam praktek kewajiban itu, bersifat proforma saja. Kewajiban itu hanya tertulis saja tapi isinya dalam praktek sangat berbeda. Kenyataan itu tercermin dari pengalaman selama ini atas penerapan Pasal 130 HIR. Sangat jarang hakim yang itIctlikasi menyelesaikan perkara melalui perdamaian, shingga,ketentuan Pasal 130 HIR itu, tidak berfungsi sama sekali. Demikian juga nasib Pasal 6 PERMA, hanya biasa formal belaka tanpa daya.
Penerapan kewajiban mendamaikan yang diatur Pasal 6 itu, kewenangannya berupa tindakan yang dapat mendorong para pihak menyelesaikan perkara melalui perdamaian, apakah mereka mau berdamai atau tidak, terserah sepenuhnya kepada para pihak, hakim tidak dapat memaksa mereka harus berdamai.
Berlangsungnya kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan hakim mulai dari saat awal persidangan maupun selama proses pemeriksaan berlangsung, batasnya, sampai putusan dijatuhkan.
Secara harfiah, kewajiban mendorong perdamaian dapat dikatakan bersifat impreatif. Buktinya tindakan mendamaikan harus tegas disebut dalam berita acara sidang maupun dalam putusan. Namun dalam pelaksanaan, selain tidak dilaksanakan secara serius melalui berbagai cara pendekatan, perdamaian itu sendiri tidak dapat dipaksakan di luar kehendak para pihak.
Akan tetapi, dengan diterbitkannya PERMA No. 2 Tahun 2003 (11 September 2003), dengan memaksakan secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti lebih dahulu ditempuh melalui proses mediasi, dan baru boleh ditempuh proses letigasi apabila mediasi gagal. Ketentuan Pasal 6 tersebut harus tunduk kepada Sistem perdamaian yang diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 tersebut.
2. Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 PERMA, tata cara pemeriksaan perdamaian yang diatur dalam Pasal 6 tunduk kepada Pasal 130 HIR, dengan sebagai berikut:
a) Pihak menyepakati sendiri materi perdamaian,
b) kesempatan (agreement) dibuat drn dirumuskan di luar persidangan tanpa campur tangan hakim,
c) Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis, dan ditandatangani para pihak,
d) selanjutnya, para pihak meminta kepada hakim agar terhadap kesempatan itu dijatuhkan putusan perdamaian, atas permintaan itu hakim menjatuhkan putusan yang memuat diktum menghukum para pihak memenuhi dan melaksanakan isiperdamaian.
Putusan perdamaian menurut Pasal 130 HIR, dianggap sama dengan putusan kekuatan hukum tetap, tertutup terhadapnya upaya banding dan kasasi, langsung final dan mengikat (final and binding) kepada para pihak, serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial (executorial kracht) hingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat dijalankan eksekusi lalui PN.
E. Pernyataan Keluar
Pernyataan keluar dari anggota kelompok diatur dalam Pasal 8 PERMA. Sedangkan pengertiannya dikemukakan dalam Pasal 1 huruf f yang berbunyi: Pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditanda¬tangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat, oleh anggota kelompok.
Dari ketentuan itu dapat dikemukakan beberapa hal mengenai penerapan pernyataan keluar dari kelompok:
a) bentuknya tertulis (in writing), tidak dibenarkan berbentuk lisan (oral),
b) pernyataan ditandatangani oleh pembuat,
c) pernyataan ditujukan kepada pengadilan dan/atau kepada pihak penggugat.
Mengenai istilah itu, PERMA menyebut pemyataan keluar. Dalam penulisan dipergunakan option out atau opt out.
1. Cara Pemberitahuan Pernyataan Keluar
Sudah dijelaskan, salah satu isi pemberitahuan yang disebut dalam Pasal 7 ayat (4) huruf e adalah penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok ke¬luar dari kelompok. Sehubungan dengan itu, Pasal 8 ayat (1) mengatur tata caranya:
a) Dilakukan dalam batas waktu yang disebut dalam pengumuman,
b) Apabila lewat dari waktu itu, pernyataan keluar tidak sah,
c) Pernyataan dituangkan dalam bentuk formulir yang dilampirkan dalam PERMA,
d) Dapat diisi dan ditandatangani sendiri oleh anggota kelompok atau kuasanya, dan,
e) supaya pernyataan keluar tidak salah sasaran, harus ditujukan kepada pengadilan dan/atau penggugat.
2. Akibat Hukum Pernyataan Keluar
Akibat hukum atas pernyataan keluar diatur dalam Pasal 8 ayat (2) yang betbunyi:
Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok, secara hukum tidak terikat dengan putusan atas yugatan perwakilan kelompok. berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan akibat hukum yang timbul dari pernyataan keluar, kepada anggota kelompok tersebut, tidak mengikat putusan yang dijatuhkan, dengan demikian tidak berhak mendapat manfaat dari putusan tersebut.
3. Res Judicata Gugatan Perwakilan dengan Ne Bis In Idem
Pasal 1917 KUH Perdata mengatur asas ne bis in idem. Menurut asas ini, terhadap suatu perkara yang telah putus, dan putusan telah berkekuatan hukum tidak boleh dituntut dan diadili untuk kedua kali. Bagaimana halnya penerapan bis in idem terhadap putusan gugatan perwakilan kelompok yang telah res judicata atau yang berkuatan hukum tetap? Apakah asas ne bis in idem berlaku dan mengikat kepada semua anggota kelompok?
Sepintas lalu, PERMA menyerahkan penyelesaian berdasarkan Pasal 10, yang menegaskan ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam hukum acara perdata tetap berlaku. Dengan demikian, asas ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata, berlaku terhadap putusan gugatan perwakilan kelompok yang telah bersifat res judicata.
Akan tetapi, penerapan ketentuan pasal tersebut pada proses gugatan perwakilan kelompok, tidak rhana itu, dibanding dengan penyelesaian gugatan perdata biasa. Dalam iksaan perdata biasa, terjadi onmiddelijke process atau pemeriksaan secara langsung terhadap pihak penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, penerapan asas nebis in idem terhadap putusan yang res judicata, tidak mengalami hambatan dan kesulitan. Sebaliknya dalam proses gugatan perwakilan kelompok yang langsung tampil dalam pemeriksaan persidangan, hanya terbatas seorang atau beberapa orang wakil pok. Sedangkan anggota kelompok lain berada dalam keadaan (in absentee sentia), serta hanya mengetahui terikat berdasar pemberitahuan yang ikan Pasal 8 ayat (3) melalui cara yang digariskan Pasal 7 PERMA.
Memperhatikan adanya perbedaan penerapan proses onmiddelijkheid antara gugatan perwakilan kelompok dengan. Proses perdata biasa, diperlukan modifikasi pengembangan span (to enlarge the application) asas ne bis in idem terhadap putusan sang telah berkekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan di bawah ini:
a) nebis in Idem hanya Terbatas Atas Putusan Positif (Positive udgement)
Maksudnya, mengikat dan berlakunya asas ne bis in idem terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap kepada anggota kelompok, terbatas apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif, dalam bentuk menolak gugatan seluruhnya, dan mengabulkan gugatan, baik seluruh atau sebagian.
Dalam hal yang demikian, tertutup hak wakil kelompok untuk mengajukan in kembali untuk kedua kalinya terhadap tergugat yang sama dengan dasar dalil dan peristiwa hukum yang sama. Sebaliknya terhadap putusan pengadilan bersifat negatif, tidak melekat ne bis in idem baik kepada anggota kelompok in kepada perwakilan kelompok, sehingga masih dapat mengajukan gugatan sekali lagi kepada tergugat yang sama dan dengan dasar dalil gugatan yang sama dengan cara menyesuaikan dan memperbaiki gugatan tentang carat formil yang melekat pada gugatan semula. Putusan yang bersifat negatif pada umumnya menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) atau, tidak berwenang mengadili.
Patokan ini merupakan aturan umum penerapan ne bis in idem. Dalam hal objek dan pihak yang digugat adalah sama serta hubungan hukum yang dipermasalahkan sama, tidak dapat diajukan gugatan untuk kedua kalinya.
b) Pemberitahuan yang Dilakukan kepada Anggota Kelompok Sah Menurut Hukum
Agar putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap melalui proses gugatan perwakilan kelompok mengikat (binding) dan berkekuatan kepada anggota kelompok, tergantung pada faktor sah atau tidak pemberitahuan yang di lakukan wakil kelompok (penggugat) dengan patokan dan acuan:
1) Apabila pemberitahuan sah, putusan langsung mengikat dan berkekuatan (binding and enforceable) kepada seluruh anggota kelompok, tanpa memerlukan penegasan penerimaan (without recognition) atas putusan. Dalam hal yang seperti ini, kepada mereka melekat asas ne bis in idem apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap.
2) Jika pemberitahuan tidaklah, (tapi yang bersangkutan menyatakan menerima putusan, putusan mengikat, dan berkekuatan kepada anggota yang ber¬sangkutan. Oleh karena itu, terhadap dirinya melekat asas ne bis in idem.
3) Pemberitahuan tidak sah, dan anggota yang bersangkutan tidak menyatakan menerima putusan:
- Putusan tidak mengikat dan berkekuatan kepadanya,
- Dengan demikian kepadanya tidak melekat ne bis in idem masih dapat mengajukan gugatan kepada tergugat mengenai objek dan dasar hukum yang sama.
c) Bagi Anggota yang menyatakanKetuar (Option Out)
Anggota kelompok yang mempergunakan hak keluar (option out right) menurut Pasal 8 PERMA, tidak terikat atas putusan gugatan perwakilan kelompok. Dengan demikian sah atau tidak Pemberitahuan, tidak menjadi masalah bagi anggota dimaksud. Dengan demikian kepada anggota yang menyatakan diri keluar, putusan tidak mengikat dan berkekuatan kepadanya. Akibatnya, kepadanya tidak melekat ne bis in idem, sehingga dig dapat mengajukan gugatan yang sama kepada tergugat.
d) Pengadilan perlu mencantumkan petitum atau dalam per¬timbangan Amar tentang ne bis in idem
Agar terbina kepastian hokum yang lebih jelas sejaiih many asas nebis in idem melekat kepada anggota kelompok, sebaiknya hakim memasukkan hal itu pertimbangan atau dalam amar putusan yang berbunyi: Menyatakan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, dalam putusan ne bis in idem kepada setup anggota kelompok tanpa memerlukan aan penerimaan kecuali kepada anggota yang telah menyampaikan pernyataan keluar. Pencantuman amar yang demikian dianggap tidak mengandung Ultra Petitum yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR.
F. Pemberitahuan
Pemberitahuan kepada anggota kelompok, diatur dalam Pasal 7 yang berisi ketentuan tentang tata cara, dan tahap Berta isi pemberitahuan. Sehubungan dengan itu, akan dijelaskan hat-hal yang berhubungan dengan itu pada uraian berikut ini.
1. Cara Pemberitahuan
Mengenai cara pemberitahuan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) berbunyi: Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti Kecamalan Kelurahan atau Desa, Kantor Pengadilan atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.
Memerhatikan ketentuan Pasal 1 huruf e dihubungkan dengan Pasal 7 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) PERMA, cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pemberitahuan Dilakukan Wakil Kelompok
Menurut Pasal 8 ayat (1) pemberitahuan kepada anggota kelompok harus memenuhi ketentuan: pemberitahuan dilakukan penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kemudian disampaikan kepada seluruh anggota kelompok, dengan cara pemberitahuan yang harus ditaati menurut Pasal. 1 huruf e, melalui berbagai cara yang mudah dijangkau anggota kelompok. Tidak dibenarkan cara pemberitahuan yang sulit dijangkau anggota kelompok.
b) Cara Pemberitahuan
Tentang cara pemberitahuan sesuai dengan prinsip mudah dijangkau anggota kelompok, diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Pasal ini membuka beragam alternatif dianggap efektif dan efisien, yang terdiri dari, melalui media cetak dan/atau elektronik, melalui kantor pemerintah, seperti Kecamatan, Kelurahan, atau Desa.
Secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan dengan syarat sepanjang anggota kelompok dapat diidentifikasi, dan ada persetujuan hakim tentang itu. Demikian beberapa ketentuan cara pemberitahuan yang perlu diperhatikan sah dan memenuhi persyaratan.
2. Kewajiban Pemberitahuan
Menurut Pasal 7 ayat (2), pemberitahuan kepada anggota kelompok bersifat ratil, karena di dalamnya tercantum kata wajib. Kewajiban melaksanakan pemritahuan, digantungkan pada tahap proses pemeriksaan perkara.
Pada Tahap gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah sesuai dengan Pasal 5 ayat 1. Pada tahap proses pemeriksaan awal persidangan hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok sesuai dengan syarat yang digariskan Pasal 2. Selanjutnya Pasal 5 ayat (3) mengatakan, apabila menurut penilaian dan pertimbangan hakim, gugatan perwakilan kelompok yang diajukan adalah sah, keabsahan itu harus dituangkan dalam bentuk penetapan, dan bersamaan dengan itu, hakim memerintahkan penggugat mengajukan usul model pemberitahuan untuk memperolch persetujuan hakim.
Keabsahan gugatan perwakilan kelompok yang dituangkan dalam penetapan itu yang wajib memberitahukan penggugat (wakil kelompok) kepada anggota kelompok. Tujuannya mereka mengetahui tentang adanya pengajuan gugatan perwakilan kelompok , dan apa yang diajukan Jah dinyatakan sah oleh hakim. Dan sekaligus pemberitahuan itu berkaitan dengan hak anggota kelompok menyatakan keluar atau opt out dari keanggotaan kelompok. Bagaimana halnya kalau gugatan perwakilan kelompok tersebut dinyatakan tidak sah? Apakah pernyataan tidak sah, wajib diberitahukan kepada anggota kelompok? PERMA tidak mengaturnya! Berarti hokum tidak menuntut kewajiban menyampaikan pemberitahuan tentang itu, cukup wakil kelompok saja yang mengetahuinya.
Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi. Tahap proses lain yang mewajibkan wakil kelompok melaksanakan pem¬beritahuan, diatur dalam Pasal 7ayat (2) huruf b PERMA, yang menjelaskan, apabila gugatan perwakilan kelompok dikabulkan, dan wajib disampaikan pemberitahuan kepada anggota kelompok dalam rangka penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi.
Bagaimana kalau gugatan ditolak? Apakah wajib disampaikan pemberitahuan kepada anggota kelompok? Mengenai hal itu, lama persoalannya dengan pernyataan gugatan perwakilan kelompok tidak sah. Tidak diatur dalam PERMA. Tidak jelas apa alasan untuk tidak memberitahukan penolakan gugatan kepada anggota kelompok. Barangkali oleh karena dasar dan tujuan pemberitahuan berkaitan dengan hak opt out, pemberitahuan hanya diperlukan pada penetapan atau putusan yang bersifat positif Sedangkan pada penetapan atau putusan negatif dianggap tidak ada urgensi pemberitahuan, karena dalam hal yang demikian tidak beralasan menerapkan opt out. Akan tetapi, jika dihubungkan dengan prinsip peradilan yang transparan yang ditegaskan huruf a konsideran PERMA, sebaiknya pemberitahuan baik pada pernyataan tidak sah gugatan yang dituangkan dalam penetapan pada proses pemeriksaan awal, maupun pada penolakan gugatan pada putusan akhir wajib disampaikan kepada seluruh anggota kelompok.
3. Isi Pemberitahuan
Mengenai isi pemberitahuan diatur dalam Pasal 7 ayat (4) PERMA. Menurut pasal ini, pemberitahuan memuat hal-hal berikut:
a) Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat.
b) Penjelasan singkat kagus perkara.
c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.
d) Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok.
e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk ke luar dari keanggotaan kelompok.
f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan.
g) Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan ke¬luar.
h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang bersedia bagi penyediaan imformasi tambahan.
i) Formulir isian tentang pemyataan keluar dari anggota kelompok sebagaimana diAur dalam lampiran PERMA.
j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
Apakah isi atau muatan pemberitahuan yang disebut dalam pasal ini bersifat neratif atau secara rinci, sehingga satu pun di antaranya tidak boleh ketinggalan? Memang demikian, paling tidak pemberitahuan, minimal harus memuat hal-hal yang disebut di atas oleh karena itu, kurang dari hal yang disebut pada Pasal 7 ayat (4) itu, tidak dibenarkan, namun menambahnya dibolehkan.
Pemberitahuan perlu memuat kemungkinan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi seperti telah dijelaskan di atas, Pasal 7 ayat (2) PERMA menyatakan: apabila gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, penggugat sebagai wakil kelompok menyampaikan beritahuan kepada anggota kelompok. Selanjutnya Pasal 7 ayat (4) mendeskripsi per satu (a sampal dengan j). Isi pemberitahuan. Sangat disayangkan. Dari isi disebut di atas, tidak ditemukan penjelasan tentang kemungkinan tergugat gajukan gugatan rekonvensi (counterclaim). Apakah ini merupakan kelalaian, cjelas! Namun hal itu, dapat menimbulkan permasalahan hukum antara anggota kelompok dengan wakil kelompok, apabila tergugat mengajukan gugatan rekonvensi. lagi jika putusan pengadilan menolak gugatan yang diajukan wakil kelompok, sebaliknya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat dikabulkan, bisa timbul perlisihan antara anggota kelompok dengan wakil kelompok.
Perselisihan antara mereka semakin mencuat apabila gugatan rekonvensi. Hukum kelompok membayar ganti rugi atau melakukan sesuatu. Apakah dalam isi seperti itu, anggota kelompok ikut bertanggung jawab menanggung hal tersebut atau hanya terbatas dibebankan kepada perwakilan kelompok? Apabila dalam pemberitahuan ada dimuat penjelasan tentang kemungkinan tergugat mengajukan atan rekonvensi, barangkali banyak di antara anggota kelompok akan membuat pernyataan opt out. Menghadapi kasus yang demikian, sepatutnya pemberitahuan memuat jelasan tentang kemungkian tergugat memmiukan gugatan rekonvensi. Dengan demikian, sejak pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, anggota kelompok yang nperoleh imformasi yangielas tentang itu, dapat menentukan sikap Apakah dill nilih ke luar (option out) atau tetap bertahan dengan segala risiko apa pun.
Menurut Mas Acmad Santosa apabila class action tidak menyangkut tuntutan uang (monetary damages) dan hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injuction, pemberitahuan (notice) terhadap anggota kelompok (untuk mendapatkan rekonfirmasi) tidak perlu dilakukan. Namun apabila tuntutan menyangkut ganti rugi dalam bentuk uang, pemberitahuan kepada masyarakat atau masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap (opt in atau opt out) harus disampaikan. Opt in adalah mekanisme dimana anggota kelompok memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar merupakan bagian dari class action. Sedangkan Opt out adalah kesempatan untuk anggota kelompok menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan. PERMA No. 1 Tahun 2002 sendiri hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat oleh anggota kelompok yang menginginkan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok class action. Pihak yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan.
G. Putusan Hakim
Setelah proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa maka putusan hakim dalam gugatan class actiondapat berupa putusan yang mengabulkan gugatan penggugat ( baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat. Dalam hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub-kelompok yang berhak menerima, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.
Pada dasarnya eksekusi putusan perkara gugatan class action dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan atas permohonan pihak yang menang seperti diatur dalam hukum acara perdata. Namun mengingat bahwa eksekusi putusan harus dilakukan sesuai dengan amar putusan dalam perkara yang bersangkutan, sedangkan dalam amar putusan gugatan class action yang mengabulkan gugatan ganti kerugian memuat pula perintah agar penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, serta perintah pembentukan komisi independen yang komposisi keanggotaannya ditentukan dalam amar putusannya guna membantu kelancaran pendistribusian, maka eksekusi dilakukan setelah diadakannya pemberitahuan kepada anggota kelompok, komisi telah terbentuk, tidak tercapai kesepakatan anatara kedua belah pihak tentang penyelesaian ganti kerugian dan tergugat tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan.
Dalam eksekusi tersebut paket ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat akan dikelola oleh komisi yang secara administratif di bawah koordinasi panitera pengadilan agar pendistribusian uang ganti kerugian dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami oleh kelompok.
BAB IV
PENERAPAN CLASS ACTION
PADA PERADILAN DI INDONESIA
A. Penerapan Liberal dan Restriktif
Penerapan class action di Indoesia sudah berjalan namun ketika kita berbigugatan class actionra masalah kesempurnaan maka itu masih jauh karena penerapan class action belum setuhnya ada di semua peradilan, ini dikarenakan kurangnya kasus yang masuk sebagai gugatan class action, disamping itu juga masih kurangnya masyarakat yang tau tentang gugatan ini. Sebenarnya gugatan class action sudah berjalan di Pengadilan Negeri tapi di Peradilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara belum ada menangani masalah class action. Dalam sejarah gugatan class action, muncul sikap dan penerapan yang agak berbeda. Ada menerapkan dengan sikap liberal (liberal attitude), dan ada pula yang sikap restriktif (restrictive approach). Untuk mendapat gambaran mengenai 1) dan pendekatan tersebut, dapat diamati dua contoh kasus klasik. Kedua kasus ini sering dikemukakan dalam penulisan dan pengkajian. Dan diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan orientasi oleh pars praktisi dalam menerapkan MA No. 1 Tahun 2002.
1. Penerapan Liberal
Penerapan yang bercorak liberal, terdapat dalam kasus Duke of Bedford vs Ellys (1910). Gugatan class action diajukan kepada Ellis untuk kepentingan kelompok penanam buah-buahan (grower of fruits), bunga (flowers), sayuran (vegetables), umbi-umbian (roots), dan penanam bumbu (herbs). Adapun isi tuntutannya adalah supaya pengadilan menjatuhkan putusan deklaratif atas hak didahulukan (preferential right) yang ditetapkan undang-undang kepada mereka atas penggunaan atau pemakaian Covent Garden Market, terhadap gugatan class action tersebut, Pengadilan memutuskan:
a) untuk mempertahankan tata tertib gugatan class action, tidak penting tentang mengenai kepentingan hak kepemilikan;
b) apabila setiap orang berkepentingan atas masalah yang dituntut, telah terbentuk kelompok (class).
c) oleh karena itu, jika pemulihan (relief) yang dituntut menurut sifatnya bennanfaat bagi keseluruhan, yang mengajukan gugatan dianggap bertindak sebagai perwakilan kelompok (class representative) untuk kepentingan seluruh anggota kelompok (class members).
Merujuk putusan tersebut, segugatan class action secara liberal dikemukakan pendapat, apabila terpenuhi tiga syarat, dapat diajukan gugatan class action untuk dan atas nama serta untuk kepentingan kelompok. Syarat tersebut segugatan class actionra teoretis terdiri dari, kesamaan kepentingan (common interest), kesamaan penderitaan (common grievance) dan pemulihan (relief) yang dituntut menurut sifatnya untuk kemanfaatan seluruh anggota kelompok
2. Penerapan Restriktif
Kasus Markt & Co. Ltd vs Knight Steamship Co. Ltd, bercorak penerapan restriktif karena gugatan class action diajukan untuk kepentingan para penggugat sebagai pemilik kargo dan kaligus untuk kepentingan para pemilik kargo (on behalf of those owners gugatan class actionrgo) yang dimuat di atas kapal Knight Commander milik Tergugat, kerugian yang dituntut, berupa ganti rugi atas pelanggaran perjanjian dan kewajiban (breach of contract and ditty) yang dilakukan tergugat atas ngangkutan barang di laut, karena barang-barang pemilik kargo telah dihancurkan pada perang Rusia-Jepang, penghancuran dilakukan oleh salah satu pihak yang berperang, berdasar¬kan alasan kapal tersebut membawa barang selundupan, padahal seharusnya kapal tersebut tidak dibenarkan berlayar pada kawasan yang sedang terjadi perang (medan perang), terhadap gugatan class action tersebut Pengadilan mempertimbangkan:
a) Gugatan yang diajukan, berada di luar kerangka gugatan class action, oleh karena itu penggugat harus mengubah gugatan menjadi gugatan biasa, atas alasan gugatan tidak memenuhi syarat kesamaan kepentingan (common interest),
b) Diantara pemilik kargo, tidak terdapat kesamaan asal (common origin), karena berdasarkan fakta, kontrak kargo yang dipennasalahkan dalam gugatan, dituangkan dalam bill of Iading (B/L) yang Baling berbeda bentuk sesuai dengan perbedaan barang yang dimuat.
Dalam kasus ini, Pengadilan menegaskan, jika tuntutan ganti rugi (damage) yang timbul dari kontrak yang berbeda dan terpisah (different and separate contract), gugatan class action segugatan class actionra mutlak tidak dapat diterapkan (a representation suit is absolutely unappligugatan class actionble).
Ada yang berpendapat, putusan tersebut hanya bertitik tolak dari pendekatan sempit (restrictive approach). Padahal jika bertitik tolak dari pendekatan liberal, dalam kasus ini terpenuhi syarat tentang:
a. Common interest di antara pemilik kargo; yaitu tuntutan ganti rugi,
b. Common grievance, hancurnya barang pemilik kargo, dan
c. ganti rugi yang dituntut pads sifatnya sama manfaatnya untuk semua anggota kelompok (pemilik kargo).
Memang benar, terdapat perbedaan besarnya jumlah kerugian yang diderita pemilik kargo, karena jumlah dan jenis barang yang mereka miliki berbeda. Akan tetapi pada dasarnya, hal itu tidak menjadi masalah. Dengan gugatan class action menjatuhkan putusan deklaratif yang menyatakan tergugat melakukan breach of contract and duty, telah terpenuhi proses penyelesaian bagi semua anggota kelompok. Selanjutnya, berdasarkan putusan deklaratif tersebut, masing-masing pemilik kargo dapat mengajukan tuntutan ganti rugi secara gugatan class action individual dan sesuai dengan jumlah yang dideritanya.
B. Kewenangan Hakim dan Anggota Terhadap Kuasa Hukum dan Wakil Kelompok
Terdapat beberapa masalah yang luput dalam ketentuan PERMA. Padahal innya dianggap penting dalam rangka perlindungan terhadap kepentingan kelompok. hakim harus Memeriksa Hubungan antara Perwakilan dengan biasa Hukum (Lawyer) pasal 2 huruf d, memberi kewenangan kepada hakim untuk menganjurkan wakil kelompok mengganti pengacara, apabila dia melakukan tindakan kerugikan atau bertentangan dengan kewaj ibannya membela dan melindungi ngan kelompok.
Penulis berpendapat, selain kewenangan itu, perlu lagi is meliputi hak dan kewenangan hakim memeriksa hubungan antara wakil A dengan pengacara, dengan ketentuan, kelompok harus berbeda dengan orang yang bertindak sebagai pengacara tidak orang yang sama antara wakil kelompok dengan pengacara, tidak ada hubungan keluarga, dan tidak ada hubungan keuangan (financial), pengacara bonafide, memiliki kemampuan teknis serta profesionalitas dan tivasi yang tulus membela kepentingan kelompok.
Kewenangan kelompok dan hakim mengganti perwakilan wenangan anggota kelompok atau hakim mengganti wakil kelompok, tidak diatur dalam PERMA. Padahal pergantian wakil kelompok dalam kasus tertentu yang diperlukan. Contoh teoretis, dapat dikemukakan peristiwa berikut, misalnya orang atau seluruh wakil kelompok tidak benar sebagai anggota kelompok, .erdapat di antaranva yang bukan termasuk kelompok. Dalam kasus seperti at beralasan bagi anggota kelompok melakukan intervensi untuk mengganti (substitute) wakil kelompok yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, perlu diatur ketentuan yang memberi hak dan kewenangan kepada anggota kelompok dan hakim untuk melakukan hal-hal berikut :
a) Wakil Kelompok Menghentikan (Discontinue) Gugatan
Sangat beralasan untuk mengganti wakil kelompok, apabila atas kehendak mereka sendiri menghentikan gugatan dan tindakan itu dilakukan tanpa campur tangan dari anggota kelompok lain, atau tanpa persetujuan (approval) anggota kelompok atau pengadilan, apabila wakil kelompok melakukan tindakan yang demikian, beralasan mengganti mereka dengan jalan menunjuk wakil kelompok yang bare untuk melanjutkan gugatan.
b) Menyetujui kompromi dengan tergugat tanpa persetujuan anggota Kelompok atau Pengadilan
Pasal 6 PERMAmewajibkan hakim mendorong para pihak untuk menyelesaikaii sengketa melalui perdamaian berdasarkan Pasal. 130 HIR baik di luar, maupun dituangkan dalam bentuk putusan pengadilan. Bagaimana kalau penyelesaian kompromi itu, sangat merugikan karena bersekongkol dengan tergugat dan hal itu terjadi tanpa campur tangan dan persetujuan anggota kelompok. Dalam kasus seperti ini, sangat wajar apabila wakil kelompok diganti.
Persetujuan pengadilan untuk menghentikan gugatan atau kompromi yang dilakukan perwakilan kelompok di Amerika Serikat, diatur dalam rule 23 (e). Ketentuan yang demikian didasarkan atas alasan agar perwakilari tidak berbuat sewenang-wenang atau untuk menghindari terjadinya buy off dari tergugat.
C. Keuntungan dan Kerugian Class Action
Terdapat beberapa keuntungan/manfaat yang dapat diperoleh apabila mengajukan gugatan menggunakan prosedur class action. John Basten Q. C melihat ada lima manfaat yang dapat diperoleh yaitu:
1) Mengatur penyelesaian perkara yang menyangkut banyak orang yang tidak dapat diajukan secara individual.
2) Memastikan bahwa tuntutan-tuntutan untuk ganti kerugian yang kecil serta dana yang terbatas diperlukan dengan sepantasnya.
3) Mencegah putusan yang bertentangan untuk permasalahan yang sama.
4) Penggunaan administrasi peradilan yang lebih efisien dan
5) Mengembangkan proses penegakan hukum.
Sedangkan Ontario Law Reform Commission melihat ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dari prosedur class action, yakni (1) mencapai peradilan yang lebih ekonomis, (2) memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan dan (3) merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran. Secara umum ada tiga manfaat yang dapat diperoleh apabila menggunakan prosedur class action, yaitu :
1) Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy)
Bukan rahasia lagi bagi masyarakat bahwa berperkara di pengadilan akan memakan biaya yang tidak sedikit. Bagi pihak penggugat, dengan melalui mekanisme class action maka biaya perkara dan biaya untuk pengacara menjadi lebih murah dibandingkan dengan dilakukan gugatan secara individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan besarnya ganti kerugian yang akan diterima. Tidak sedikit pihak (individu) yang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan perkaranya, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan disebabkan karena mahalnya biaya perkara dan biaya pengacara.
Manfaat secara ekonomis tidak saja dirasakan oleh penggugat namun juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, pihak tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan. Sedangkan bagi pengadilan sendiri sangatlah tidak ekonomis jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu dan terus menerus serta dalam jumlah yang cukup besar.
2) Akses terhadap keadilan (Access to Justice)
Mengajukan gugatan secara class action akan lebih mudah dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individu-individu. Menggabungkan diri secara bersama-sama akan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang umumnya dalam posisi yang lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kemampuan (psikologis) dan pengetahuan tentang hukum.
Selain itu dalam class action tidak mensyaratkan pengindentifikasian nama sehingga dapat mencegah adanya intimidasi terhadap anggota kelas. Class action juga mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusanputusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten apabila dilakukan gugatan secara individu.
3) Mendorong bersikap hati-hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran
Pengajuan gugatan secara class action dapat “menghukum” pihak yang terbukti bersalah, bertanggung jawab membayar ganti kerugian dengan jumlah yang diperuntukkan untuk seluruh penderita korban (dengan cara yang lebih ringkas) akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal ini dapat mendorong setiap pihak atau penangung jawab usaha (swasta atau pemerintah) untuk bertindak ekstra hati-hati. Selain itu dengan sering diajukannya gugatan secara class action diharapkan merubah sikap pelaku pelanggaran sehingga menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.
Meskipun ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam mengajukan gugatan secara class action, namun tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan dari prosedur class action adalah :
4) Kesulitan dalam mengelola.
Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dimenangkan dan ganti rugi diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya pendistribusiannya.
5) Dapat menyebabkan ketidakadilan.
Ketidakadilan ini terkait dengan masalah penentuan keanggotaan kelompok beserta daya ikatnya dari putusan hakim. Apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan kelompok adalah opt in maka tidak adanya pernyataan masuk dari anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan hanya karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan hilangnya hak mereka untuk menikmati keberhasilan gugatan class action, karena putusan hakim hanya akan mempunyai akibat bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok.
Sedangkan apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan adalah dengan prosedur opt out maka tidak ada pernyataan opt out dari orang yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak tahu adanya pemberitahuan akan mengakibatkan mereka menjadi anggota kelompok dengan segala konsekuensinya. Konsekuensinya adalah mereka akan terikat dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Yang menjadi persoalan adalah apabila gugatan dikalahkan atau digugat balik maka anggota kelompok juga harus menanggung akibatnya.
6) Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat.
Jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat mengakibatkan tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, dimana tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak.
7) Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat.
Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class action di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media akan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus dibuktikan oleh pengadilan.
Gugatan perwakilan kelompok mempunyai manfaat Seperti di negera-negara lain yang telah mempunyai prosedur gugatan perwakilan kelompok pada umumnya sama, yaitu:
1. Agar supaya proses perkara lebih ekonomisdan biaya lebih efesien. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu. Manfaat ekonomis ini tidak hanya dirasakan oleh penggugat, akan tetapi dirasakan juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan perwakilan kelompok , tergugat hanya satu kali mengeluarkan gugatan kepada pihak-pihak yang dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme gugatan perwakilan kelompok akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang diterima.
2. Mencegah pengulangan proses perkara, dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten.
3. Memberikan akses pada keadilan, dan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi lebih lemah. Apalagi jiak biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding tututan yang diajukan. Melalui gugatan perwakilan kelompok ini, kendala-kendala ini dapat diatasi dengan cara saling menggabungkan diri bersama-sama dengan korban atau penderita yang lain dalam satu gugatan saja, yaitu gugatan perwakilan kelompok.
4. Merubah sikap perilaku pelanggaran dengan diterapkannya prosedur gugatan perwakilan kelompok berarti memberikan akses yang lebuh luas bagi pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan biaya yang lebih efesien, dan kemudian akan berpeluang untuk menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi untuk merugikan kepentigan masyarakat luas.
D. Pendistribusian Ganti Rugi di Peradilan
Akhir proses gugatan perwakilan kelompok adalah tahap pendistribusian ganti rugi kepada anggota kelompok, apabila pengadilan mengabulkan gugatan. Langkah dan tindakan yang perlu diambil wakil kelompok memenuhi kewaj iban itu adalah sebagai berikut :
1) Pendistribusian Diawali dengan Pemberitahuan
Wakil kelompok menyampaikan pemberitahuan atas pengabulan tuntutan ganti rugi kepada seluruh anggota kelompok dengan cara mekanisme yang dituntutkan dalam putusan melalui media atau perangkat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) PERMA. Dalam putusan, pengadilan dapat mengabulkan cara pendistribusian dilakukan oleh tim yang terdiri dari penggugat, tergugat, dan PN. Jika demikian halnya, pemberitahuan menj elaskan hal itu kepada anggota kelompok.
2) Distribusi Dapat Diberikan dengan Beberapa Cara Beberapa cara distribusi yang dapat dilakukan:
Diberikan langsung kepada masing-masing anggota kelompok, dengan syarat yang bersangkutan membuktikan dirinya sebagai anggota kelompok yang ikut mengalami kerugian,
Dapat juga melalui subkelompok jika ada) tanpa mengurangi keharusan membuktikan sebagai korban dari peristiwa yang diperkarakan,
3) Anggota yang tidak mau menerima ganti rugi
Anggota yang telah opt out pada tenggang waktu yang ditentukan, tidak berhak mendapat ganti rugi. Tidak menjadi soal apakah opt out itu dilakukan pada tahap pemberitahuan sahnya gugatan perwakilan kelompok atau pada tahap pemberitahuan putusan. Bagaimana halnya anggota kelompok yang tidak mau menerima, atas alasan ganti rugi yang diperoleh terlampau kecil? Sehingga dianggapnya tidak sesuai dengan besamya penderitaan yang dialami. Hal ini tidak diatur dalam PERMA. Namun, jika bertitik tolak dari prinsip yang diatur Pasal 8 ayat (2), seseorang barn dianggap sah tidak terikat dengan putusan apabila yang bersangkutan mengajukan pemyataan opt out pada jangka waktu yang ditentukan dalam pemberitahuan. Oleh karena itu, penolakan menerima distribusi ganti rugi atas alasan terlampau kecil, tidak menggugurkan kekuatan mengikat putusan gugatan perwakilan kelompok kepada anggota kelompok yang bersangkutan.
4) Pembagian Sisa Ganti Rugi Berdasarkan Cy Press Doctrine
Meskipun kecil sekali kemungkinan terdapat sisa pembagian ganti rugi, namun hal itu perlu disinggung. Nyatanya hal itu tidak diatur dalam PERMA, sehingga apabila dalam kenyataan. ter adi peristiwa yang demikian, belum ada pedomancara penyelesaiannya.
Ada baiknya sebagai bahan orieritasi dikemukakan ketentuan yang diatur di Amerika Serikat yang menggariskan, jika terdapat sisa ganti rugi setelah dibagikan kepada seluruh anggota kelompok, sisa tersebut diberikan kepada yayasan sosial atau kepada badan lain yang sejala.n dengan tujuan gugatan perwakilan kelompok yang diajukan.
Cara pemanfaatan sisa ganti rugi yang demikian didasarkan pada cy press doctrine yang bermakna, persetujuan antara penghibah dengan penerima hibah, bahwa hartanya akan dipergunakan sebagai dana untuk maksud-maksud kepentingan sosial.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gugatan Perwakilan Kelompok merupakan sebuah bentuk gugatan secara berkelompok atas korban yang memiliki fakta hukum dan kerugian yang sama. Sehingga diperlukan sebuah payung hukum yang bisa memperkuat kedudukan gugatan perwakilan kelompok. Karena dasar hukum selama ini hanya peraturan mahkamah agung. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dia atau dari dia mereka sendiri.
1. Gugatan Perwakilan Kelompok diajukan dalam hal:
a) Jumlah anggota kelompok semakin banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan.
b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat subtansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
2. Surat gugatan kelompok mengacu pada persyaratan¬-persyaratan yang diatur Acara Perdata yang berlaku, dan harus memuat:
a) ldentitas lengkap dan jelas dan perwakilan kelompok.
b) ldentitas kelompok secara rinci tanpa menyebutkan nama anggota.
c) ldentitas lengkap dan jelas wakil kelompok, tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
d) ldentitas kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
e) Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci.
f) Gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
g) Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
3. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4).
4. Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok dan memberikan nasihat kepada para pihak mengenal persyaratan gugatan perwakilan kelompok, selanjutnya hakim memberikan penetapan mengenai sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok tersebut.
5. Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, maka hakim segera memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
6. Apabila penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.
7. Dalam proses perkara tersebut Hakim wajib mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
8. Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.
9. Pemberitahuan kepada anggota kelompok wajib dilakukan pada tahap-tahap:
a) Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah; dan selanjutnya anggota kelompok dapat membuat pernyataan keluar.
b) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
10. Pemberitahuan memuat:
a) Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat;
b) Penjelasan singkat tentang kasus;
c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok;
d) Penjelasan dan implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok;
e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok;
f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan;
g) Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar;
h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa yang tepat yang tersedia bagi penyediaan informasi tambahan;
i) Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini;
j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
11. Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan hakim, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir yang diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini.
12. Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok secara hukum tidak terkait dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang dimaksud.
13. Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam perkara lingkungan (Pasal 37 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), perkara Perlindungan Konsumen (Pasal 46 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen), dan perkara kehutanan (Pasal 71 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Dalam gugatan perwakilan kelompok/class action, apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah¬langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi. (Pasal 9 PERMA)
B. Saran-Saran
1. Dunia peradilan adalah tempat mengajukan gugatan khususnya gugatan class action oleh karena itu penulis berharap kemana para ahli hukum, dosen, mahasiswa betul-betul bisa memahami daripada mekanisme gugatan class action agr dapat tersosialisasi kepada masyarakat luas.
2. Didalam mengajukan gugatan class action agar betul-betul membawa keadilan kepada seluruh anggota kelompok agar keadilan betul terasa dimasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarts: PT. Rineka Cipta, 2007
Nugroho, Susanti Adi. Varia Peradila,. Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2009
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasionsl, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 37 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup .
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 71 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 46 ayat (1) UU No. 8 Th. 1999 tentang perlindungan konsumen,
Djalal, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2006
Yuntho, Emerson , Mekanisme Class Action, Jakarta: Navila Idea, 2007
Ash Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: Al Maarif, 1994
Madkur , Muhammad Salam, Al-Qadhau Fil Islam, Darun Nadwa, Al Arabiyah, 1384 H
Sendari. Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Yogyakarta: Univeristas Atma Jaya Press, 2002
Harahap, Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997
Subekti, Hukun Acara Perdata, Jakarta: Bina Cipta, 1996
Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998
Termorshuizen, Marianne, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999
Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002.
Elise T. Sulistini dan Rudi T. Erwin , Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta, Penerbit Bina Aksara, Desember 1987.
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), Jakarta, ICEL, 1997.
Mas Achmad Santosa, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Enviromental Legal Standing), Jakarta, ICEL , 1997.
Alder, John & David Wilkinson, Environmental Law & Ethics, Macmillan Inc, New York, (1998)
Revesz, Richard L, Foundations of Environmental Law and Policy, Oxford University Press, New York. 1997
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998,
Sudaryatmo, Seri Panduan Konsumen (Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen), Jakarta, Penerbit Pirac , 2001.
Santosa, Mas Achmad, Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, PIAC, dan YLBHI, Jakarta, 1999
Dewasa ini di Indonesia dengan perkembangan perekonomian dunia, tampaknya semakin banyak gugatan yang menggunakan prosedur class actions yang diajukaan di beberapa instansi pengadilan dengan berbagai variasi alasan yang menjadi landasan gugatan. Oleh karena itu, kebutuhan informasi serta perkembangan pengetahuan tentang gugatan class actions yang bersifat praktis, kini sangat dirasakan kebutuhannya.
Walaupun gugatan class actions telah pertama kali dikenal pada abad ke- 18 di Inggris, kemudian meluas penerapannya di abad ke- 19 di negara-negara lainnya seperti Amerika, Kanada, Australia, dan lain-lain, yang pada umumnya negara - negara dengan system common law, tetapi bagi Indonesia pemahaman konsep ini masih terbilang baru.
Dalam menggunakan dan menyikapi prosedur gugatan ini, baik praktisi hukum maupun hakim di pengadilan tidak semuanya memahami aspek teknis penerapan prosedurnya. Pemahaman yang belum memadai ini dikarenakan prosedur class actions ada pedoman prosedur acara atau pedoman teknis penerapannya, dan umumnya sangat terkait dengan aspek prosedural yang sangat kompleks. Tidak adanya undang-undang ataupun peraturan lain yang mengatur tentang prosedur gugatan class actions, selain daripada peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2002 tentang tata cara penerapan gugatan perwakilan kelompok. Misalnya dalam kegiatan PPK telah disepakati bahwa suatu desa akan mendapatkan dana PPK apabila kelompok didesa tersebut yang sudah mendapatkan pinjaman telah melunasi pinjamannya. Akan tetapi kelompok tersebut menunggak pengembalian pinjaman sehinggamasyarakat desa tidak bisa memanfaatkan dana PPK. Karena merasa dirugikan, anggota masyarakat dapat bersama-sama mengajukan gugatan kepada kelompok tersebut dalam satu gugatan.
Beberapa contoh gugatan class action yang pernah terjbadi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Gugatan 27 nelayan mewakili 1145 kepala keluarga melawan 3 perusahaan badan hukum di Metro Lampung (perkara No. 134/Pdt.G/1997/PN. Jkt Sel).
2. Gugatan Yulia Erika Sipayung mewakili 1.016.929 penduduk Kabupaten Tuban vs Komisi A DPRD Tuban (Perkara No. 55/Pdt.G/200/PN. Tuban).
Pada prinsipnya gugatan class actions merupakan suatu cara untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan. Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta atas dasar hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan ketidakefesienan bagi pihak yang mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan bagi pihak pengadilan sendiri.
Tujuan gugatan class action, agar supaya proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efektif (judicial economy). Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan secara class action, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme class action akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu, yang kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima. Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah putusan-putusan yang berbeda dengan majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lainnya.
Dalam peraturan Mahkamah Agung I Tahun 2002, gugatan Perwakilan Kelompok (class actions) didefenisikan bahwa sebagai suatu tata cara atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengujukan gugatan atas diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompok lainya.
Berbicara masalah landasan hukum yang mengatur gugatan class action, acara gugatan class action di Indonesia belum diatur dalam Hukum Acara Perdata, tetapi pengakuan secara hukum adanya gugatan class action telah diakui dan diatur dalam:
1. Pasal 37 UU No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan perwakilan maupun gugatan kelompok ke pengadilan mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan peri hehidupan masyarakat.
2. Pasal 71 UU No. Tahun 1999 tentang kehutanan.
Ayat 1: Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
Ayat 2: Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
3. Dalam pasal 46 ayat (1) UU No. 8 Th. 1999 tentang perlindungan konsumen, mengatur gugatan secara kelompok, bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit.
Menurut penulis class action tersebut ternyata banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, karena peraturan yang telah mengadopsi ketentuan class action tersebut menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering (RBg), padahal HIR dan RBg tidak mengenal prosedur class action. Permasalahn yang timbul akibat tidak adanya ketentuan mengenai prosedur class action ini terlihat dari beberapa putusan pengadilan yang memeriksa dan mengadili gugatan perdata yang menggunakan prosedur class action.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas, maka pokok masalah merupakan dasar pokok dalam kajian skripsi ini adalah : gugatan perwakilan kelompok dan penerapannya pada Peradilan di Indonesia.
Selanjutnya, berdasarkan pokok masalah diatas, maka penulis akan mengemukakan beberapa sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme gugatan class action?
2. Bagaimana penerapan gugatan class action pada peradilan di Indonesia?
C. Hipotesis
Sebagai langkah awal dalam memahami serta sebagai jawaban sementara dari permasalahan, maka akan dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
Adapun yang bisa mengajukan gugatan perwakilan kelompok adalah mereka yang masuk dalam lapangan hukum perdata, terdiri dari sekian banyak perorangan (individu), kesamaan fakta atau dasar hukum, kesamaan jenis tuntutan secara impilisit, setelah memenuhi semua ini mereka akan diperhadapkan dengan formulasi gugatan, hingga pada putusan hakim.
Seperti di negara – negara lain yang telah mempunyai mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action) namun pada umumnya tujuannya sama, namun di Indonesia penerapan class action ini baru diterapkan pada Pengadilan Negeri (PN) tapi di Peradilan Agama (PA), Peradilan Militer (PM) dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) belum ada penerapannya namun menurut penulis gugatan class action akan ada.
Tata cara penyelesaian gugatan perwakilan kelompok di lingkungan Peradilan Agama sama dengan gugatan perwakilan kelompok yang ada di instansi peradilan lainnya, karena mempunyai dasar hukum yang sama.
D. Pengertian Judul
Untuk memudahkan alur pemikiran dalam memahami arah pembahasan ini, terlebih dahulu dijelaskan beberapa istilah yang digunakan sebagai berikut:
Gugatan bermakna: “Tuntutan . Perwakilan bermakna: “Orang yang dikuasakan menggantikan orang lain.” , sedangkan yang dimaksud dengan Kelompok adalah kumpulan . Yang dimaksud dalam sripsi ini adalah gugatan yang berisi tuntutan yang melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu orang atau beberapa orang yang berindak sebagai wakil kelompok, wakil kelompok ini bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk atas nama mereka sendiri, tetapi sekaligus atas nama kelompok yang mereka wakili yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan kesamaan kepentingan, kesamaan penderitaan dan apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota.
Peradilan bermakna: Badan peradilan khusus untuk orang yang mempunyai perkara tertentu yang memeriksa dan memutus perkara tentang perdata, perceraian, talak dan sebagainya, sesuai peraturan yang berlaku.
E. Kajian Pustaka
Tentang gugatan perwakilan kelompok, sebenarnya telah banyak dibahas baik di buku – buku, literature, skripsi maupun makalah. Namun adapun yang menjadi alasan penulis dalam pemilihan judul skripsi ini, yaitu “Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) dan Penerapannya pada peradilan di indonesia.” adalah karena belum adanya tulisan baik itu buku maupun artikel yang membahas secara rinci dan mendetail tentang gugatan perwakilan kelompok, telebih di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar tentang hal ini.
Berkaitan hal diatas, dalam sebuah bukunya “Hukum Acara Perdata,” M. Yahya Harahap , S.H. juga membahas tentang gugatan perwakilan kelompok, dimana dalam buku tersebut dijelaskan mengenai masalah gugatan perwakilan kelompok.
Selanjutnya dalam “Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXI No. 282 Mei 2009” yang ditulis oleh Dr. Susanti Adi Nugroho juga telah banyak membahas tentang gugatan perwakilan kelompok ini. Dalam tulisannya di mengatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok lebih ekonomis, efesien, mencegah pengulangan proses perkara, memberikan akses pada keadilan, mengurangi hambatan – hambatan bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi lemah dan merubah sikap perilaku pelanggaran dengan diterapkannya prosedur class action berarti memberikan akses yang lebih luas bagi para pencari keadilan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian kasus yaitu penelitian yang bertujuan untuk mempelajari secara mendalam terhadap suatu individu, kelompok, institusi, atau masyarakat tertentu, tentang latar belakang, keadaan/ kondisi, faktor-faktor, atau interaksi-interaksi sosial yang terjadi di dalamnya .
2. Metode Pendekatan
a. Pendekatan yuridis adalah: pendekatan yang digunakan untuk mengetahui aturan-aturan yang berlaku pada lingkungan Pengadilan Agama termasuk yang mengatur tentang tata cara perceraian serta kriteria-kriteria yang dapat dijadikan sebagai alasan perceraian termasuk cacat badan dan sakit.
b. Pendekatan sosiologis, yaitu: pendekatan yang digunakan untuk mengetahui keadaan dan kondisi masyarakat dalam menjalankan gugatan perwakilan kelompok. Dalam hal ini dimaksudkan kepada para penegak hukum dalam penyelesaiannya.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan menggunakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu pengumpulan data teoritis dengan cara menelaah berbagai buku literatur dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Dengan mengakaji buku literatur yang berkaitan seperti buku Hukum Acara Perdata yang dikarang oleh M. Yahya Harahap, S.H, Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun XXI No. 282 Mei 2009 yang ditulis oleh Dr. Susanti Adi Nugroho.
4. Analisis Data
Untuk mengolah data yang telah diperoleh lewat kedua metode pengumpulan data tersebut di atas maka, pengelolaan dan analisa data yang digunakan adalah :
1. Metode induktif, yaitu metode yang digunakan dengan jalan menarik kesimpulan khusus dari data- data yang bersifat umum.
5. Metode deduktif, yaitu metode yang digunakan dengan jalan menarik kesimpulan umum dari data- data yang bersifat khusus.
G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian adalah :
Untuk mengetahui bagaimana penerapan gugatan perwakilan kelompok pada Pengadilan.
2. Kegunaan penelitian :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut :
a. Sebagai masukan dan bahan informasi bagi para hakim pada Pengadilan Agama dalam menentukan kebijakan terhadap gugatan perwakilan kelompok.
b. Sebagai acuan dan bahan pustaka bagi pihak-pihak yang melakukan penelitian lanjutan pada objek yang sama.
H. Garis – Garis Besar Isi Skiripsi
Dalam garis-garis besar isi skripsi ini, penulis akan mengemukakan gambaran singkat mengenai isi skripsi ini.
Pada bab I sebagai bab pendahuluan, meliputi permasalahan, hipotesis, pengertian judul, kajian pustaka, setelah itu penulis mengemukakan alas an-alasan sehingga terangkatnya judul ini, kemudian metode apa yang digunakan, tujuan dan kegunaan penelitian dan penulis menutup bab ini dengan garis-garis besar isi skripsi.
Pada bab II penulis akan menguraikan tentang sejarah ringkas gugatan perwakilan kelompok, pengertian gugatan class action, dan penulis bab ini dengan dasar hukum gugatan class action di Indonesia.
Pada Bab III penulis akan menguraikan tentang mekanisme gugatan class action dengan sub bab: persyaratan formal gugatan class action, formulasi gugatan class action, proses pemeriksaan awal, penyelesaian melalui perjanjian kesepakatan perdamaian, pernyataan keluar, pemberitahuan, putusan hakim
Pada bab IV penulis akan menguraikan tentang penerapan class action di peradilan di Indonesia, adapun sub bab adalah: penerapan liberal dan restriktif, kewenangan hakim dan anggota kelompok terhadap kuasa hukum dan wakil kelompok, keuntungan dan kerugian class action, pendistribusian ganti rugi di peradilan
Bab V penulis menutup skripsi ini dengan beberapa kesimpulan dan saran.
BAB II
GUGATAN CLASS ACTION
A. Sejarah Ringkas Gugatan Class ActionsGUGATAN CLASS ACTION
1. Gugatan class action di Inggris
Inggris memperkenalkan prosedur class action berdasarkan judge made law dan khususnya untuk perkara-perkara berdasarkan equity yang diperiksa oleh Court of Chancery. Saat itu Court of Chancery mengadili suatu perkara yang melibatkan pihak penggugat yang jumlahnya puluhan dan ratusan orang secara kumulasi. Pengadilan secara administrasi mengalami kesulitan untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap gugatan tersebut. Muka mulailah pengadilan menciptakan prosedur class action, dimana puluhan atau ratusan orang yang mempunyai kepentingan sama tersebut tidak semuanya maju ke pengadilan melainkan cukup diwakili oleh satu atau beberapa orang. Pada awal diperkenalkannya prosedur class action di Court of Chancery tuntutan yang diajukan hanyalah tuntutan yangdidasarkan atas keadilan saja misalnya tuntutan accounting, declaration, atau injuction. Accounting adalah tuntutan permintaan pertanggungjawaban berdasarkan suatu hubungan yang bersifat fiduciary. Declaration adalah tututan yang berupa pernyataan atau pengakuan, misalnya pernyataan atau pengakuan hakhak para penggugat, pengakuan adanya tanggung jawab dari tergugat, pengakuan terhadap dasar gugatan dan sebagainya. Injuction adalah tuntutan yang berupa perintah bagi tergugat untuk tidak melakukan sesuatu dan bersifat preventif. Setelah adanya penggabungan antara law and equity di Inggris prosedur class action kemudian dapat dipergunakan untuk perkara-perkara baik yang didasarkan pada equity maupun law (misalnya tuntutan ganti rugi) dan diatur dalam Supreme Court of Judicature Act, 1873, kemudian dirubah dan diatur kembali dalam The English Rules of the Supreme Court (ERCS), pada tahun 1965.
2. Gugatan class action di Kanada
Kanada, mulai mengenal prosedur class action pertama kali di propinsi Ontario dengan dikeluarkannya the Ontario Judicature Act 1881, yang kemudian diperbaharui dengan Supreme Court of Ontario Rules of Practice (SCORP), pada tahun 1980. Ketentuan dalam class action di Ontario banyak meniru ketentuan class action di Inggris. Ketentuan tentang class action kemudian diatur lebih lengkap dalam Ontario Class Proccedings Act (OCPA) tahun 1992. Di Ontario kemudian dibentuk Ontario Law Reform Commission yang salah satu tujuannya adalah mengembangkan modelmodel class action di negara tersebut. Komisi ini secara rutin membuat buku pelaporan tentang perkembangan class action serta merekomendasikan perubahan-perubahan yang diperlukan. Di samping Ontario, beberapa propinsi atau negara bagian di Kanada seperti Quebec, Saskatchewan dan The British Columbia juga mengatur tentang class action. Di Quebec, reformasi hukum tentang class action terwujud atas inisiatif pemerintah federal serta the Law Reform Division of Department of Justice. Propins Saskatchewan, class action pertama kali diperkenalkan dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran consumer credit rights. Prosedur class action di British Columbia diperkenalkan oleh British Columbia Law Reform Commission dan diatur dalam the British Columbia Class Proceeding Act (BCCPA) 1995 yang kemudian direvisi tahun 1996.
Dalam rangka mewujudkan prosedur class action yang seragam untuk seluruh propinsi di Kanada, the Uniform Law Conference of Canada telah berhasil membuat class Proceeding Act pada tahun 1996 yang diharapkan dapat diberlakukan di seluruh propinsi di Kanada. Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005
3. Gugatan class action di India
Di negara India, pengakuan terhadap prosedur class action mulai dikenal pada tahun 1908 dan diatur dalam Rule 8 of Order 1 of Civil Procedure 1908 sebagaimana diubah dan disempurnakan pada tahun 1976. Menurut ketentuan tersebut, yang dimaksud class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap seseorang yang merupakan anggota dari suatu kelompok untuk mewakili seluruh kepentingan kelompok tersebut dengan syarat : (1) Ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai kepentingan yang sama, (3) pengadilan mengijinkan orang tersebut untuk menjadi wakil kelompok, (4) ada kewajiban memberitahukan kepada seluruh anggota kelompok.
4. Gugatan class action di Amerika Serikat
Amerika Serikat sudah mengatur prosedur class action sejak 1938 untuk sistem peradilan federal, yakni di dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure. Pada awalnya peradilan federal mengenal tiga jenis class action yaitu true class action, hybrid class action serta spurious class action. Aturan ini kemuidian direvisi pada tahun 1966 sehingga tiga jenis class action tersebut dihapus sehingga hanya dikenal dengan satu jenis class action sebagaiman yang diatur dalam Rule 23 the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966. Dalam Rule 23 (a) the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966 dijelaskan bahwa class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap satu orang atau lebih yang merupakan anggota dari suatu kelompok (class) yang bertindak untuk mewakili seluruh anggota kelompok tersebut, dengan syarat (1) ada sejumlah besar orang, (2) mempunyai permasalahan hukum, fakta serta tuntutan yang sama serta (3) wakil yang representatif. Saat ini tiga puluh dua negara bagian mengikuti ketentuan yang diatur dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966. Enam belas negara bagian mengadopsi secara murni tanpa mengadakan modifikasi, sedangkan enam belas negara bagian telah membuat modifikasinya.
5. Gugatan class action di Australia
Australia pertama kali mengakui prosedur class action pada tahun 1970, tepatnya di negara bagian New South Wales dengan diatur dalam New South Wales Supreme Court Rules. Selanjutnya Peradilan Federal Australia mengatur class action dalam Federal Court of Australia Act pada tahun 1976. Pada akhirnya class action berkembang di seluruh negara bagian di Australia. Seluruh yurisdiksi negara bagian Australia mengenal prosedur class action dan pada umumnya diatur sebagai salah satu ketentuan prosedur berperkara di dalam Undang-undang yang mengatur hukum acara perdata mereka. Dengan kata lain, tidak diatur secara khusus dalam sebuah Undang-undang.
6. Sejarah class action di Indonesia dan perkembangannya dibagi menjadi dua periode :
Yang menjadi tolak ukur dari pengakuan class action adalah dengan dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1. Periode sebelum adanya pengakuan class action
Sebelum tahun 1997, meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur mengenai class action, namun gugatan class action sudah pernah dipraktekkan dalam dunia peradilan di Indonesia. Gugatan class action yang pertama di Indonesia dimulai pada tahun 1987 terhadap Kasus R.O. Tambunan melawan Bentoel Remaja, Perusahaan Iklan, dan Radio Swasta Niaga Prambors. Perkara Bentoel Remaja yang diajukan di PN Jakarta Pusat. Menyusul kemudian Kasus Muchtar Pakpahan melawan Gubernur DKI Jakarta & Kakanwil Kesehatan DKI (kasus Endemi demam Berdarah) di PN Jakarta Pusat pada tahun 1988 dan Kasus YLKI melawan PT. PLN Persero (kasus pemadaman listrik se-Jawa Bali tanggal 13 April 1997) pada tahun 1997 di PN Jakarta Selatan. Dalam gugatan Bentoel Remaja, Pengacara R.O. Tambunan mendalilkan dalam gugatannya bahwa ia tidak hanya mewakili dirinya sebagai orang tua dari anaknya namun juga mewakili seluruh generasi muda yang diracuni karena iklan perusahaan rokok Bentoel. Dalam kasus demam berdarah, pengacara Muchtar Pakpahan selaku penggugat mendalilkan bahwa ia bertindak untuk kepentingan diri sendiri sebagai korban wabah demam berdarah maupun mewakili masyarakat penduduk DKI Jakarta lainnya yang menderita wabah serupa. Dari ketiga kasus class action di atas sayangnya tidak ada satupun gugatan yang dapat diterima oleh pengadilan dengan pertimbangan :
• Gugatan class action bertentangan dengan adagium hukum yang berlaku bahwa tidak ada kepentingan maka tidak aksi (point d’intetrest, point d’action). Hal ini diperkuat dalam yurisprudensi MA dalam putusannya pada tahun 1971 yang mengisyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang memiliki hubungan hukum.
• Pihak penggugat tidak berdasarkan pada suatu Surat Khusus, dalam 123 HIR disebutkan bahwa untuk dapat mewakili pihak lain yang tidak ada hubungan hukum diperlukan suatu Surat Khusus.
• Belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur mengenai gugatan class action, baik soal definisi maupun prosedural mengajukan gugatan class action ke pengadilan.
• Bahwa class action lebih didominasi di negara yang menganut stelsel hukum Aglo Saxon, sementara tradisi hukum di Indonesia lebih dominann dipengaruhi oleh stelsel hukum eropa kontinental.
2. Periode setelah adanya pengakuan class action
Class Action dalam Hukum Positif di Indonesia baru diberikan pengakuan setelah diundangkannya UU Lingkungan Hidup pada tahun 1997 kemudian diatur pula dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU Kehutanan pada tahun 1999. Namun pengaturan class action hanya terbatas dan diatur dalam beberapa pasal saja. Selain itu ketiga UU tersebut tidak mengatur secara rinci mengenai prosedur dan acara dalam gugatan perwakilan kelompok (Class Action). Sebelum tahun 2002, gugatan secara class action umumnya dilakukan tanpa adanya mekanisme pemberitahuan bagi anggota kelompok dan pernyataan keluar dari anggota kelompok. Gugatan secara class action dilaksanakan melalui prosedur yang sama dengan gugatan perdata biasa.
Ketentuan yang secara khusus mengenai acara dan prosedur Class Action baru diatur pada tahun 2002 dengan dikeluarkannya PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 mengatur tentang kewajiban pemberitahuan bagi wakil kelompok dan membuka kesempatan keluar dari gugatan class action bagi anggota kelompok (opt out).
B. Pengertian Class Action
Ada beberapa definisi yang mencoba menjelaskan istilah class action, baik menurut kamus hukum, peraturan perundangan maupun dari ahli hukum.
1. Meriam Webster Colegiate Dictionary
Dalam Meriam Webster Colegiate Dictionary edisi ke-10 tahun 1994 disebutkan yang dimaksud class action : a legal action under taken by one or more plaintiffs on behalf of themselves and all other persons havings an identical interest in alleged wrong.
2. Black’s law dictionary
Class action adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kekompok besar orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili.
3. Glorilier Multi Media Encyclopedia
Class action adalah gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih anggota kelompok masyarakat mewakili seluruh anggota kelompok masyarakat.
4. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dimaksud class action adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
5. Acmad Santosa
Sedangkan Acmad Santosa menyebutkan Class Action pada intinya adalah gugatan perdata (biasanya terkait dengan permintaan injuntction atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang dalam jumlah yang tidak banyak, misalnya satu atau dua orang sebagai perwakilan kelas (class repesentatif) mewakili kepentingan mereka, sekaligus mewakili kepentingan ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai korban. Ratusan atau ribuan orang yang diwakili tersebut diistilahkan sebagai class members.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Class Action adalah suatu gugatan perdata yang diajukan oleh satu orang atau lebih yang mewakili kelompok yang dirugikan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan karena adanya kesamaan fakta dan dasar hukum antara satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dengan kelompok yang diwakili.
Pengertian Gugatan Class Actions Menurut PERMA No. 1 Tahun 2002
Di Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
Sedangkan menurut Yahya Harahap dari PERMA No. 1 Tahun 2002 diatas menerangkan bahwa istilah ang digunakan adalah:
• Acara gugatan perwakilan kelompok (GPK)
• Hal itu ditegaskan dalam diktum PERMA itu sendiri pada bagian menetapkan yang menyebur tentang acara gugatan perwakilan kelompok atau representative action.
Jadi pengertian gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan yang dilakukan satu orang atau lebih dan membuat ketua kelompok, orang itu berindak mewakili kelompok yang jumlahnya banyak sekaligus untuk dirinya sendiri dengan syarat yang mewakili kelompok dengan anggota kelompok memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum.
Berdasarkan pengertian tersebut, jelaslah bahwa Gugatan Perwakilan Kelompok memberi kesempatan bagi sekelompok orang dalam jumlah banyak untuk mengajukan gugatan dalam 1 (satu) gugatan yang mewakili seluruh anggota kelompok, sehingga masing-masing anggota kelompok tidak harus membuat gugatan sendiri-sendiri.
Ada beberapa perbedaan antara gugatan perwakilan kelompok dengan gugatan biasa, antara lain :
KRITERIA PERDATA BIASA CLASS ACTION
Penggugat Orang Pribadi/badan hukum Sekelompok orang yang memiliki kesamaan
Kasus/Permasalahan Kepentingan Pribadi Memilki kesamaan dalam :
- Masalah
- Fakta Hukum
- Tuntutan
Jumlah Orang Satu atau lebih orang Ratusan, ribuan, yang diwakili oleh beberapa/sekelompok orang yang menderita kerugian
Perwakilan Diwakili oleh Kuasa Hukum Diwakili oleh sekelompok orang yang menderita kerugian
Kuasa Hukum Memakai kuasa hukum Memakai kuasa hukum
Biaya Mahal Ekonomis, Murah dan cepat
C. Dasar Hukum Gugatan Class Action di Indonesia
Adapun dasar hukum gugatan class action di Indonesia yang dapat dijadikan acuan dalam menghadapi perkara seperti ini adalah sebagai berikut:
1) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
BAB III
MEKANISME GUGATAN CLASS ACTION
A. Persyaratan Formal Gugatan Class Action
Dari beberapa definisi class action dan yang telah digariskan dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 maka didapatkan persyaratan formal gugatan class action terdiri dari:
1. Gugatan secara perdata
Gugatan dalam class action masuk dalam lapangan hukum perdata. Istilah gugatan dikenal dalam hukum acara perdata sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk menghindari adanya upaya main hakim sendiri (eigenechting). Gugatan yang merupakan bentuk tuntutan hak yang mengandung sengketa, pihak-pihaknya adalah pengugat dan tergugat. Pihak disini dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Umumnya tuntutan dalam gugatan perdata adalah ganti rugi berupa uang.
2. Ada kelompok (class)
Yang membentuk atau membangun terwujudnya suatu kelompok atau kelas menurut hukum, terdiri dari sekian banyak perorangan (individu). Perorangan yang banyak itulah yang menampilkan kelompok atau kelas yang dapat diketahui atau dipastikan yang disebut ascertainable class. Keberadaan kelompok terdiri dari dua komponen. Hal itu dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 2 huruf a dan c PERMA.
a. Perwakilan kelompok (class resperentative)
Adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.Untuk menjadi wakil kelompok tidak disyaratkan adanya suatu surat kuasa khusus dari anggota Kelompok. Saat gugatan class action diajukan ke Pegadilan maka kedudukan dari wakil Kelompok sebagai penggugat aktif. Gambaran dan keberadaan serta kapasitas wakil kelompok menurut hukum, memiliki karakter sebagaimana diuraikan dibawah ini:
1) Orang yang tampil bertindak mengambil inisiatf mengatasnamakan diri sebagai kelompok, adapun tindak hukum yang dilakukan adalah mengajukan gugatan dan diajukan untuk atas nama sendiri dan sekaligus atas nama anggota kelompok seabgai wakil kelompok
2) Jumlah wakil kelompok, dalam hal ini boleh terdiri dari satu orang saja dan dapar juga terdiri dari beberapa orang.
Jumlah yang dianggap ideal, tidak terlampau banyak agar tidak menimbulkan konflik interest diantara mereka atau kalau terlampau banyak. Sulit untuk dicapai kata sepakat dalam mengambil keputusan tentang suatu masalah. Sebaliknya, kalau seorang saja, dianggap tidak memadai jika dihubungkan dengan masalah biaya pelaksanaan pemberitahuan kepada kelompok maupun pengelolaan pengadministrasian anggota kelompok.
3) Kedudukan dan kapasitas wakil kelompok
Kedudukan dan kapasitasnya menurut hukum adalah kuasa menurut hukum (legal mandatory) atau wettelijke vertegenwoordig, yaitu peraturan perundang-undangan sendiri (dalam hal ini PERMA) yang member hak dan kewenangan bagi wakli kelompok sebagai kuasa kelompok demi hukum. Dengan demikian, hanya memberikan surat kuasa khusus dari anggota kelompok dan tanpa memerlukan persetujuan dari anggota kelompok (pasal 4), demi hukum bertindak mewakili kelompok. Ketentuan ini sama dengan Amerika yang menggariskan, the individual who wants to intiate a class action, need not get the permission of potential class members before moving for certification.
4) Bagi anggota kelompok yang tidak setuju, diberi hak untuk optong out karena dalam opting out ini ada hak dengan menyatakan diri dengan tegaa keluar sebagai anggota kelompok dan hal itu dilakukan dalam batas waktu tertentu (pasal 8 ayat 1). Dengan adanya opting out , kepadanya tidak mengikat putusan yang dijatuhkan pengadilan (pasal 8 ayat 2).
5) Syarat wakil kelompok (pasal 2 huruf C) adalah memiliki kejujuran dan memiliki kesanggupan melindungi kepentingan anggota kelompok. Hanya itu syarat yang harus dipenuhi wakil kelompok. Hanya saja sangat sulit menilai kejujuran dan kesungguhan tersebut, karena sifatnya abstrak dan subjektif. Selain itu, siapa yang berhak menilainya?.
6) Wakil kelompok dapat menunjuk kuasa atau pengacara (pasal 2 huruf d) karena kuasa dapat diganti, baik atas kehendak wakil kelompok atau anjuran hakim. Dalam penggantian dapat dilakukan, apabila kuasa melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajiban memela anggota kelompok.
b. Anggota Kelompok (Class members)
Adalah sekelompok orang dalam jumlah yang banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan. Apabila class action diajukan ke Pengadilan maka kedudukan dari anggota kelompok adalah sebagai penggugat pasif. Jumlah anggota kelompok banyak (numerous persons). Sebagaimana telah dituliskan pada bab sebelumnya mengenai dasar hukum class action, tepatnya pada PERMA pasal 2 huruf a berbunyi: Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidak efektif dan efesien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam gugatan.
Memperhatikan ketentuan diatas, agar gugatan perwakilan kelompok atau class action memenuhi syarat ditinjau dari unsur anggota kelompok, jika gugatan sedemikian rupa banyaknya konstituennya, sehingga dianggap tidak efersien dan efektif dalam penyelesaian perkara melalui proses kumulasi objektif dan subjektif atau melalui proses intervensi dalam bentuk voeging berdasarkan pasal 279 Rv, oleh karena itu, kalau anggotanya hanya terdiri atas 5 orang atau 10 orang, dianggap tidak memenuhi syarat berperkara melalui mekanisme class action, karena masih lebih efektif dan efesien melalui gugatan kumulasi.
Karena dalam PERMA tidak menentukan batas minimal, maka timbul pertanyaan, berapa orang yang dianggap efesien dan efektif agar memenuhi gugatan class action yang digariskan dalam pasal 2 huruf a PERMA tersebut?. Bagaimana jika jumlah anggotanya sedikit (handluf of members)?. ternyata dalam PERMA tidak mengatur batas minimal. Kekosongan ini dapat menimbulkan pebedaan penafsiran. Ditinjau dari ilmu yurispudensi perumusan anggota kelompok sedemikian banyak, merupakan perumusan yang sangat luas (broad term)
Bagaimana kalau konstituennya sedikit, tetapi diajukan melalui proses gugatan perwakilan kelompok. Misalnya, anggota hanya 5 atau 10 orang. Mungkin lebih efektif dan efesien diproses melalui gugatan biasa dalam bentuk kumulasi atau intervensi dalam bentuk voeging berdasarkan pasal 279 Rv. Proses pemikirannya lebih jauh sederhana disbanding gugatan perwakilan kelompok. Oleh karena itu, kalau anggotanya hanya 5 orang atau 10 orang, permohonan gugatan perwakilan kelompok lebih tepat dinyatakan tidak memenuhi syarat dan dinyatkan tidak dapat ditema, di samping itu harus diajukan melalui gugatan perdata biasa.
Di Amerika, federal trade commission improvement, menentukan batas minimal anggota kelompok yang dianggap memenuhi syarat mengajukan proses berperkara secara class action, minimal 100 orang yang tergolong anggota kelompok.
Terlepas dari penentuan batas minimal tersebut, ada yang berpendapat bahwa tidak perlu ditetapkan secara pasti batas jumlah anggota kelompok yang dianggap memenuhi syarat numerousity. Praktek berkembang jarang mempersoalkan batas minimal dan maksimal secara pasti (fixed)
Bagaimana halnya kalau tidak dibatasi jumlah maksimal, sehingga sedemikian rupa besarnya jumlah anggota kelompok yang terkait anggota kelompok gugatan perwakilan kelompok? Apakah hal ini tidak mengakibatkan proses penyelesaian menjadi tidak sederhana lagi? Pada dasrnya tidak menimbilkan masalah,
Karena solusi tentang itu ditampung pada pasal 3 huruf e PERMA. Menurut pasal ini, apabila anggota kelompok dangat banyak maka dapat dibagi dalam subkelompok dan jika tuntutan dan sifat kerugian yang dialami anggota kelompok yang digariskan pasal 2 huruf a.
Dalam gugatan harus jelas didefenisiakan deskripsi kelompok yang terlihat dalam gugatan perwakilan kelompok yang dsiajukan. Hal ini diatur secara tegas dalam PERMA pasal 3 huruf b yang mengatakan, gugatan memuat definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.tujuannya agar diketahui dengan jelasapakah kelompok yang disebutdalam gugatan memenuhi syarat commonality dan numerousity. Dalam praktik dan pengkajian, muncul beberapa pendapat mengenai deskripsi kelompok dalam gugtan, yaitu:
a) Deskripsi tidak terlampau umum
Apakah deskripsi kelompok cukup atau boleh dirumuskan secara umum? Misalnya apa boleh dirumuskan bahwa oihak penggugat terdiri dari kelompok tertentu? Umpamanya dirumuskan penggugat terdiri dari karyawan yang menerima kesejahteraan dari koperasi tertentu. Atau apakah perumusannya boleh dideskripsi dengan kalimat semua orang miskin yang ada di Makassar tanpa mengemukakan factor objektif siapa yang dimaksud siapa orang miskin yang dihubungkan kaitannya dengan keanggotaan kelompok?.
Deskripsi semua orang Makassar miskin dianggap terlampau umum. Perumusannya masih kabur, masih perlu dikonkretisasi. Sedangkan deskripsi karyawan pada contoh diatas, pada dasarnya dianggap memenuhi syarat, karena deskripdi itu dapat diketahiu dan dapat dipastikan dengan jelas siapa yang dimaksud anggota kelompok. Akan tetapi semua orang Makassar miskin dianggap sangat umum dan kabur masih diperlukan perumusan yang konkret, misalnya dengan cara menyebutkan berapa pendapatan tertentu.
b) Deskripsi tidak terlampau spesifik
Seperti dikatakan, deskripsi kelompok yang dibenarkan terlampau uumum, sehingga dituntut deskrpsi yang bercorsk spesifik, yang mudah diketahui dan dipastikan. Namun demekian, hokum tidak menuntut deskripsi kelompok yang terlampau spesifik.
c) Patokan deskripsi kelompok
Dari uraian diatas, meskipun dari segi teoritidak sulit mendeskripsi kelompok yang memenuhi syarat, namun dari segi praktik tidak mudah mendeskripsi dalam gugatan. Hampir semua sependapat, dalam praktik sulit mendekripsi kelompok yang bercorak spesifik yang dianggap memenihi syarat. Sehubungan dengan kenyataan itu muncul pendapat, penilaian tentang deskripsi yang diserahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim. Namun demikian, agar penilaian itu tidak bersifat subjektif perlu ditetapkan patokan sebagai landasan acuan yang mana perumusannya bukan deskripsi yang kabur karena pada prinsipnya deskripsi itu dapat menghindari kesulitan pengelolaan administrasi anggota kelompok yang bersngkutan.
Dalam syarat formulasi gugatan class action ini PERMA tidak mengatur kemungkinan mempergunakan nama penghuni. Semestinya pasal 2 PERMA mengatur kemungkinan mempergunakan nama penghuni dalam gugatan perwakilan kelompok, asalkan yang mengatas namakan nama kelompok itu, benar-benar penghuni nyata dalam pada saat gugatan diajukan. Sebenarnaya bertitik tolak dari ketentuan pasal 1 huruf b yang mengatakan wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang banyak jumlahnya, berarti tidak selamanya kelompok itu berdiri dari mereka yang berada pada lingkungan pekerjaan atau kota maupun daerah tertentu, tetapi dapat juga berdasarkan faktor penghunian pada gedung bangunan, kompleks atau lembaga tertentu.yang penting dipenuhi, anggota penghuninya banyak sehingga memenuhi garis yang digariskan pasal 2 huruf a yaitu (numerous)
Dengan demikian, gugatan perwakilan kelompok dapat diajukan untuk dan atas nama penghuni penjara, penghuni rumah sakit dan penghuni panti asuhan dan sebagainya.
Akan tetapi, perlu diingat yang sah dan boleh mengatasnamakan kepentingan penghuninya yang benar benar masih berada dalam oleh karena itu gugatan perwakilan kelompok atas nama penghuni tidak sah apabila yang mengajukan terdiri dari orang yang buka penghuni lagi.
Pada perinsipnya, hukum tidak menuntuk agar gugatan mengedintifikasi anggota kelompok secara satu persatu indifidual, dengan acuan penerapan, apa mungkin boleh disebut satu persatu secara indifidual, tetapi dibenarkan menyebut berdasarkan perkiraan atau berdasarkan statistical. Boleh terbatas pada daerah tertentu,t api dapat juga lintas kota atau daerah maupun secara nasional.
3. Kesamaan fakta atau dasar hukum
Syarat yang kedua yang digariskan dalam pasal 1 huruf a adalah kesamaan atau commonolity. Asas kesamaan menurut pasal tersebut adalah kesamaan fakta atau dasar hukum, diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang digunakan dalam gugatan dan kesamaan fakta atau dasar hukum itu bersifat subtansial.
Dengan demikian, untuk menetukan kategori apakah satu gugatan dapat diajukan dan diproses melalui gugatan perwakilan kelompok atau gugatan perdata konvensional, ditentukan syarat atau faktor. Kesamaan elemen (common element) antara wakil kelompok dan wakil kelompok, kesamaan element yang paling penting menurut pasal satu huruf a PERMA adalah kesamaaan fakta atau kesamaan hukum yang dilanggar tergugat, kesamaan yang dimaksud adalah harus dijelaskan wakil kelompok dalam gugatan dengan ketentuan tidak berarti kesamaan fakta tau dasar hukum itu harus persis serupasecara mutlak dan dimungkinkan adanya perbedaan dengan syarat pebedaan itu tidak subtansial dan perinsipil, perbedaan yang terjadi antara anggota, tidak bersifat kepentingan persaingan
Sebagai ilustrasi,dapat dikemukakan jenis perbedaan dan besarnya ganti rugi yang dialami kelompok yang timbul dari obat yang dimakan konsumen. Perbedaan dalam kasus ini dapat ditolerir atas alasan, perbedaan itu tidak subtansial, karena tidak sampai melenyapkan kesamaan fakta atau dasar hukum gugatan. Disamping itu juga fakta tentang penyebab timbilnya kerugian bagi seluruh anggota kelompok adalah sama yaitu karena mengomsumsi obat tergugat, dengan demikian dasar hukumnya sama yakni perbuatan melawan hukum dalam bentuk pertanggungjawaban produksi yang digariskan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Ada persyaratan–persyaratan yang harus dipenuhi dalam menggunakan prosedur class action. Tidak terpenuhi persyaratan ini dapat mengakibatkan gugatan yang diajukan tidak dapat diterima. Di beberapa negara yang menggunakan prosedur class action pada umumnya memiliki persyaratan umum yang sama yaitu :
1) Adanya sejumlah anggota yang besar (Numerosity)
Jumlah anggota kelompok (class members) harus sedemikan banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri (individual).
2) Adanya kesamaan (Commonality) Sejenis (Typicality)
Terdapat kesamaan fakta (peristiwa) dan kesamaan dasar hukum (question of law) antara pihak yang mewakilili (class representative) dan pihak yang diwakili (class members). Wakil Kelompok dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan ini.
Tuntutan (bagi plaintiff Class Action) maupun pembelaan (bagi defedant Class Action) dari seluruh anggota yangdiwakili (class members) haruslah sejenisPada umumnya dalam class action, jenituntutan yang dituntut adalahpembayaran ganti kerugian.
3) Wakil kelompok yang jujur (Adequacy of Repesentation)
Wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakili. Untuk menentukan apakah wakil kelompok memiliki kriteria Adequacy of Repesentation tidaklah mudah, hal ini sangat tergantung dari penilaian hakim. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok. Namun, dalam hal wakil kelompok mewakilkan proses beracara kepada pengacara, maka wakil kelompok harus memberikan surat kuasa khusus kepada pengacara pilihannya.
Demikian secara singkat yang penulis dapat paparkan secara ringkas mengenai pengkajian penerapan syarat kesamaan fakta atau dasar hukm yang harus diperhatikan dalam pengajuan gugatan perwakilan kelompok.
4. Kesamaan jenis tuntutan
Syarat ini berkaitan dengan erat syarat kesamaan fakta atau dasar hukum. Namun demikian syarat kesamaan jenis tuntutan secara impilisit disebut dari pasal 1 huruf b Yang berbunyi: Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok yang lebih banyak jumlahnya.
Jika ketentuan pasal tersebut diamati lebih teliti dapat dikemukakan kandungan yang terdapat didalamnya, antara lain :
a) Adalah kelompok yang diwakili oleh satu orang atau beberapa orang yang mengalami penderitaan atau bencana
b) Jumlahnya anggota kelompok banyak
c) Diantara wakil dan anggota kelompok terdapat persamaan kepentingan
d) Pemulihan yang dituntut menurut sifatnya bermanfaat untuk semua anggota kelompok
e) Bentuk kelompoknya dapat diskripsi karastristikny dengan jelas, sehingga tidak sulit mengelola pengatministrasiannya
Dengan demikian kira-kira kandungan makan yang terdapat dengan syarat kesamaan jenis tuntutan, akan tetapi tanpa mengurangi penjelasan diatas ada yang mengartikan kesamaan jenis tuntutan serupa dengan commoninterest dan commongriefance dalam arti luas, oleh karena itu dapat juga disebut kesamaan tujuan tetapi dapat juga ditafsirkan kesamaan penderitaan dan sebagai akibat dari semua itu adalah timbul jenis kerugian yang sama yang dialami wakil kelompok dan anggota kelompok, pada dasarnya betuk kerugian itu nyata atau kerugian material tetapi juga bersifat kerugian inmaterial
Bertitik tolak dari persamaan penderitaan itu, terjadi dan terwujud bentuk kerugian yang sama juga membari hak bagi seluruh anggota yang mengajukan kesamaan jenis tuntutan. Yang penting paling umum dan realistis pembayaran ganti rugi akan tetapi dapat juga berbentuk atau diikuti dengan tuntutan permintaan maaf kepada kelompok, penutupan perusahaan dan pemulihan atas kerusakan yang timbul.
Dari penjelasan tersebut pada dasarnya kesamaan jenis tuntutan merupakan rangkaian dari kesamaan kepentingan dan kesamaan penderitaan. Dari rangkaian itu lahir dan terwujud kesamaan tuntutan hukum.
B. Formulasi Guatan
Mengenai formulasi gugatan perwakilan kelompok, merujuk kepada ketentuan Pasal 3 dan Pasal 10 PERMA. Menurut kalimat pertama Pasal 3 dikatakan, persyaratan-persyaratan formal gugatan perwakilan kelompok, tetap duduk kepada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata, dalam hal ini HIR dan RBG, namun harus juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 PERMA. penerapan yang seperti itu secara umum ditegaskan juga dalam Pasal 10, berbunyi: ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata erlaku, di samping ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini.
Sehubungan dengan itu, ada dua sisi formulasi gugatan yang perlu diperhatikan agar gugatan perwakilan kelompok yang diajukan tidak cacat formil.
1. Persyaratan Umum Berdasarkan Hukum Acara
Sebenarnya jika diperhatikan ketentuan Pasal 3 PERMA, hampir terdapat persamaan syarat-syarat formulasi gugatan dengan yang diatur dalam HIR atau RBG. Namun demikian, untuk mendapat gambaran yang jelas, akan dikemukakan secara ringkas deskripsinya sebagai berikut:
1) Mencantumkan dan mengalamatkan gugatan berdasarkan kompentensi relatif (yurisdiksi relatif) sesuai dengan sistem dan patokan yang digariskan Pasal 118 HIR.
2) Mencantumkan tanggal pada gugatan meskipun pencantuman itu tidak diatur secara tegas, namun dalam praktik peradilan telah dianggap sebagai salah satu syarat formulasi gugatan, meskipun sifatnya tidak imperatif.
3) Gugatan ditandatangani penggugat atau kuasanya, tanda tangan ditulis dengan tangan sendiri, berupa inisial nama penanda tangan, boleh berbentuk cap jempol berdasarkan St. 1919-776, apabila penggugat tidak pandai menulis.
4) Menyebut identitas para pihak yang terdiri dari minimal seperti yang diatur Pasal 118 ayat (1) HIR: nama lengkap dan alias (jika ada) dan alamat atau tempat tinggal. Apabila alamat dan tempat tinggal tergugat tidak diketahui, dapat dipedomani cara perumusan yang digariskan Pasal 390 ayat (3) HIR.
5) Mencanturnkanfitndamenturn petendi yang terdiri dari dasar hukum gugatan (rechlelijke gronds) dan dasar fakta gugatan (feitelijk-e gronds).
6) Memuat petitum gugatan yang bisa berbentuk deskripsi tunggal, boleh juga berbentuk alternatif atau subsidiairy yang masing-masing
dideskripsi atau berbentuk subsidair dalam bentuk ex-aequo et bono.
Itulah pokok-pokok formulasi gugatan secara umum. Tentang hal ini telah diuraikan secukupnya secara mendetail pada ruang lingkup permasalahan gugatan contentiosa.
2. Persyaratan khusus berdasarkan Pasal 3 PERMA
Seperti yang dikatakan, di antara syarat umum yang diatur dalam Hukum Acara, ada yang sama dengan ketentuan yang disebut pada Pasal 3 PERMA. Namun demikian, persyaratan itu akan dideskripsi satu per satu, yang terdiri dari:
a) Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok.
Huruf a ini hanya memerintahkan penyebutan identitas penggugat, dalam hal ini wakil kelompok. Namun tidak mengurangi keharusan menyebut identitas tergugat sesuai dengan ketentuan umum yang digariskan Hukum Acara.
b) Definisi kelompok secara rinci dan Spesifik, walaupun tanpa menyebut nama anggota kelompok satu per satu.
Mengenai masalah definisi dan deskripsi kelompok sudah dijelaskan pada uraian terdahulu. Di situ dikemukakan kesimpulan mengenai patokan deskripsi kelompok gugatan perwakilan kelompok dengan acuan perumusan definisinya tidak bersifat deskripsi yang kabur (unvague escription), tetapi jugs tidak dituntut deskripsi yang terlampau spesifik, oleh karena itu, pada prinsipnya deskripsi yang dianggap memadai, asal dapat Menghindari kesulitan mengelola pengadministrasian anggota kelompok yang bersangkutan.
c) Keterangan tentang Anggota Kelompok yang Diperlukan dalam Kaitan dengan Kewajiban Melakukan pemberitahuan.
Ketentuan ini tidak dijumpai dalam formulasi gugatan berdasarkan Hukum Acara, karena dengan mencantumkan identitas pare pihak, pemberitahuan atau panggilan sudah dapat dipenuhi, sebab secara riil mereka tampil dalam gugatan. Demikian halnya dalam gugatan perwakilan kelompok, yang tampil secara nyata dalam proses perkara, hanya wakil kelompok (class representative), sedangkan identitas anggota kelompok tersembunyi atau inabsentee di batik identitas wakil kelompok. Anggota kelompok adalah penggugat yang tidak hadir atau inabsentee di forum persidangan. Karena itu, apabila satu seat diperlukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, perlu diterangkan keberadaan mereka dalam gugatan dan keterangan sedemikian rupa sehingga langkah tindakan pemberitahuan itu dapat terlaksana efektif.
d) Posita dari Seluruh Kelompok baik Wakil Kelompok maupun Anggota Kelompok, yang Teridentifikasi maupun Tidak Teridentifikasi Dikemukakan secara Jelas dan Rinci.
Mengenai syarat ini, sama dengan ketentuan umum. Berarti harus jelas dasar hukum dan dasar fakta landasan dalil gugatan. Cuma yang perlu diperhatikan dalam syarat ini, perlu ada penegasan bahwa dalil gugatan itu meliputi landasan gugatan seluruh kelompok yang terdiri dari wakil dan anggota kelompok.
e) Penegasan tentang Beberapa Bagian Kelompok atau subkelompok.
Syarat ini tidak bersifat imperatif secara permanen, tetapi secara kondisional, dengan acuan penerapan, sepanjang tidak ada secara objektif subkelompok berdasarkan perbedaan. Jenis dan jumlah ganti rugi, gugatan tidak perlu memuat hat itu. Dengan demikian keharusan merumuskan penegasan subkelompok dalam gugatan perwakilan kelompok, apabila hat itu secara nyata memang ada, dalam hal yang demikian gugatan perwakilan kelompok hanya menyebut atau memformulasi subkelompok yang ada, dan menyebut perbedaan sifat dan tuntutan ganti rugi bagi setiap subkelompok.
f) Tuntutan atau Petitum tentang Ganti Rugi Petitum tentang ganti rugi.
Harus dikemukakan dengan jelas dan rinci tentang ganti rugi memuat atau menjelaskan cara pendistribusian ganti rugi itu kepada seluruh anggota kelompok, usul pembentukan tim atau panel yang bertindak membantu kelancaran pendistribusian ganti rugi.
Pada dasarnya, ketentuan ini sama dengan aturan umum yang digariskan Hukum Acara. Namun dalam gugatan perwakilan kelompok, terdapat tambahan formulasi mengenai pendistribusian dan tim yang membantu kelancaran pembayaran ganti rugi.
C. Proses Pemeriksaan Awal
Mengenai proses pemeriksaan gugatan perwakilan kelompok terdapat dua sistem. Pertama; tahap proses pemeriksaan awal yang tunduk kepada ketentuan Pasal 5 PERMA. Kedua; tahap proses pemeriksaan biasa yang tunduk kepada hukum acara yang digariskan IIIR/RBG, yang berkenaan dengan replik-duplik, pembuktian, konklusi, dan pengucapan putusan.
Sepanjang mengenai tahap proses pemeriksaan biasa, fidak dibahas pada bagian ini. Uraian akan difokuskan pada tahap proses pemeriksaan awal persidangan.
1. Pengertian dan Tujuan Proses PemeriksaanAwaI
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) istilah yang dipergunakan, awal proses pemeriksaan persidangan. Namun secara teknis yustisial, lebih tepat disebut lahap proses pemeriksaan awal atau lazim disebut preliminary certificate test, atau preliminary hearing. Adapun tujuan dan fungsi proses pemeriksaan awal (preliminary hearing):
a) Merupakan tahap pemeriksaan atau pembuktian tentang sap atau tidak persyaratan gugatan perwakilan kelompok yang diajukan.
b) Sehubungan dengan itu, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok yang bersangkutan.
c) Dasar landasan menguji kriteria tersebut, merujuk dan bertitik tolak dari ketentuan Pasal 2 PERMA.
Berarti yang wajib diperiksa dan dipertimbangkan hakim dalam tahap proses pemeriksaan awal, berkenaan dengan hal berikut:
a) Adanya kelompok yang terdiri dari:
wakil kelompok yang memenuhi syarat:
- memiliki kejujuran, dan
- memiliki kesungguhan melindungi kepentingan anggota kelompok;
anggota kelompok yang memenuhi syarat:
- Jumlahnya banyak (numerous), dan
- Kelompoknya dapat didefmisikan atau dideskripsi secaraielas dan spesifik.
b) Terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum:
kesamaan itu bersifat substansial antara wakil dengan anggota kelompok,
kesamaan itu tidak mengandung persaingan kepentingan (competing interest), antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
c) Terdapat kesamaan jenis tuntutan:
dapat juga diartikan kesamaan kepentingan (common interest) atau kesamaan tujuan (common purpose),
boleh juga didasarkan pada kesamaan penderitaan (common grievance).
Mengenai masalah ini, sudah dijelaskan lebih jauh pada uraian terdahulu. Apa disinggung di atas, hanya ringkasan saja agar lebih mudah memahami maksud iingsi tahap proses pemeriksaan awal. Dengan demikian, yang wajib diperiksa m dalam tahap ini meliputi syarat yang disebut Pasal 2 PERMA, yang terdiri:
a) definisi dan deskripsi kelompok, apakah memenuhi syarat spesifik
b) wakil kelompok apakah jujur dan benar-benar mengurus kepentingan kelompok; apakah jumlah kelompok memenuhi syarat numerousity sehingga tidak efektif dan efisien penyelesaian parkas melalui gugatan biasa
c) menilai dan mempertimbangkan apakah terdapat kesamaan fakta hukum atau dasar hukum maupun kesamaan kepentingan atau tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
2. Dapat Memberi Nasihat
Pasal 5 ayat (2) mengatur kewenangan hakim memberi nasihat kepada ;gugat dan tergugat berkenaan dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 3. gan demikian, kewenangan dan fungsi memberi nasihat tersebut secara hukum ~ tahap proses pemeriksaan awal:
a) Hanya terbatas sepanjang hal-hal yang menyangkut persyaratan formal gugatan yang diatur dalam Pasal 3 saja,
b) diluar itu, hakim tidak dibenarkan memberi nasihat,
c) nasihat itu diberikan sesudah hakim melakukan pemeriksaan atau penilaian kriteria gugatan.
Sebenamya kewenangan hakim memberi nasihat, tidak hanya dalam proses Pasal 119 HIR sendiri telah menegaskan hal itu, bahwa Ketua Pengadilan eri berwenang memberi nasihat dan pertolongan kepada penggugat atau igat maupun kepada kuasa tentang hal yang berkenaan dengan mengajukan gugatan, apakah gugatan itu telah memenuhi syarat formil atau tidak. Ketentuan ini pun sejalan dengan amanat Pasal 5 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, sebagai¬inana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 yang menegaskan, bahwa di dalam perkara perdata, pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang sederhana, cepat- dan biaya ringan.
3. Menerbitkan Penetapan gugatan perwakilan kelompok Sah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan (4), hakim menerbitkan penetapan pengadilan, apabila telah selesai dilakukan pemeriksaan kriteria gugatan yang diajukan. Jika hakim berpendapat gugatan perwakilan kelompok yang diajukan sah memenuhi syarat yang digariskan Pasal 3 PERMA, maka pengadilan menerbitkan penetapan yang berisi diktum atau amar:
a) menyatakan sah gugatan gugatan perwakilan kelompok,
b) memberi izin umuk beperkara.nielalui proses gugatan perwakilan kelompok,
c) selanjutnya memerintahkan penggugat segera mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
Ada yang mengatakan, penetapan izin untuk beperkara melalui proses gugatan perwakilan kelompok disebut sertifikat awal atau preliminary certificate test, dan perintah melanjutkan pemeriksaan perkara disebut certificate order.
4. Menjatuhkan putusan gugatan perwakilan kelompok tidak sah.
Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (5) PERMA yang menyatakan bahwa apabila dari hasil pemeriksaan kriteria gugatan, gugatan perwakilan kelompok tidak sah, karena tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 3, maka pernyataan tidak sah itu, dituangkan dalam bentuk putusan, yang berisi dictum, menyatakan bahwa gugatan perwakilan kelompok tidak sah dan memerintahkan pemeriksaan dihentikan.
Demikian gambaran ruang lingkup tahap proses pemeriksaan awal persidangan. Kalau gugatan perwakilan kelompok dianggap sah, hakim menerbitkan penetapan yang berisi pemberian izin beperkara melalui sistem gugatan perwakilan kelompok. Sebaliknya, kalau gugatan dianggap tidak memenuhi kriteria yang digariskan Pasal 3, gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah. Pernyataan itu dituangkan dalam bentuk putusan yang berisi perintah menghentikan pemeriksaan perkara. Sistem proses pemeriksaan awal yang digariskan Pasal 5 tersebut, hampir sama dengan Pasal 23 Federal Rule Amerika Serikat, yang disebut preliminary certificate test. Apabila hasil pemeriksaan kriteria class action yang diajukan penggugat memenuhi syarat, hakim menerbitkan Sertification order"
Syarat yang paling pokok untuk menerbitkan sertifikat, hampir sama dengan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 3 PERMA, yaitu:
a) there be a class (ada kelompok):
yang bersifat ascertainable (dapat dipastikan),
specific (spesifik atau terinci):
- not vague (tidak kabur),
- not too specific (tidak terlampau spesifik).
b) Commonality, that the action raises question of law or fact common tee class.
c) Class Representative:
fair Oujur),
adequate protection to the interest of the class (kesungguhan membela kepentingan kelompok).
Tidak semua negara menganut sistem preliminary certificate test. Misalnya Australia tidak mengenal sistem sertifikasi dalam mengesahkan class action. Asalkan terpenuhi syarat substansial, class action dapat dibenarkan.
5. Penetapan sah gugatan perwakilan kelompok bersifat final
Menurut Pasal 5 ayat (3) PERMA, pernyataan gugatan gugatan perwakilan kelompok sah dituangkan dalam bentuk penetapan pengadilan. Akan tetapi, pasal tersebut tidak menjelaskan, apakah penetapan itu bersifat final atau tidak. Tidak ada penegasan tentang itu dapat menimbulkan perbedaan penafsiran, sehingga penyelesaian sengketa bila menghambat. Oleh karena penegasan tentang finalnya penetapan tidak ada kemungkinan praktik dapat tederumus pada standar ganda. Pada suatu ketika ada yang menjerit dan bersuara keras, terhadap penetapan dapat diajukan banding, dan pada waktu lain bersikukuh, terhadap penetapan tidak dapat diajukan banding. Memang benar Pasal 9 UU No. 20 Tahun 1947 telah menegaskan, yang dapat dibanding adalah putusan akhir (final judgement). Sedangkan putusan (interim award) tidak dapat dibanding. Banding terhadap penetapan atau putusan sela, harus diajukan bersama-sama dengan putusan akhir. Dengan demikian, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 9 UU No. 20 Tahun 1947, terhadap penetapan yang terbitkan Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 5 ayat (3) PERMA, tidak diajukan banding. Akan tetapi, pengalaman praktek telah mempertontonkan tragedy. Banyak ditemukan peristiwa pengajuan banding terhadap putusan sela. Tragedi seperti itulah yang dikhawatirkan terhadap penetapan dimaksud, seharusnya, untuk memperkecil tindakan irrasional, berupa pengajuan banding terhadap penetapan itu, Pasal 5 ayat (3) PERMA harus dengan tegas menyatakan penetapan bersifat final dan terhadapnya tertutup upaya banding.
D. Penyelesaian Melalui Perjanjian Kesepakatan Perdamaian
Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat (wakil kelompok) harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Umumnya upaya perdamaian dilakukan di luar proses persidangan. Apabila pihak penggugat (wakil kelompok) dan tergugat sepakat dilakukan perdamaian maka diantara para pihak dilakukan perjanjian perdamaian. Lazimnya perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai. Berdasarkan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak maka hakim menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat.
Kekuatan putusan perdamaian sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian maka tidak dimungkinkan upaya banding.
Penyelesaian melalui perdamaian diatur dalam Pasal 6 PERMA yang berbunyi: Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal dimaksud dapat dijelaskan hal-hal berikut:
1. Hakim wajib mendamaikan
Pasal ini berisi perintah kepada hakim, wajib mendamaikan para pihak. Namun dalam praktek kewajiban itu, bersifat proforma saja. Kewajiban itu hanya tertulis saja tapi isinya dalam praktek sangat berbeda. Kenyataan itu tercermin dari pengalaman selama ini atas penerapan Pasal 130 HIR. Sangat jarang hakim yang itIctlikasi menyelesaikan perkara melalui perdamaian, shingga,ketentuan Pasal 130 HIR itu, tidak berfungsi sama sekali. Demikian juga nasib Pasal 6 PERMA, hanya biasa formal belaka tanpa daya.
Penerapan kewajiban mendamaikan yang diatur Pasal 6 itu, kewenangannya berupa tindakan yang dapat mendorong para pihak menyelesaikan perkara melalui perdamaian, apakah mereka mau berdamai atau tidak, terserah sepenuhnya kepada para pihak, hakim tidak dapat memaksa mereka harus berdamai.
Berlangsungnya kewajiban mendorong perdamaian dapat diupayakan hakim mulai dari saat awal persidangan maupun selama proses pemeriksaan berlangsung, batasnya, sampai putusan dijatuhkan.
Secara harfiah, kewajiban mendorong perdamaian dapat dikatakan bersifat impreatif. Buktinya tindakan mendamaikan harus tegas disebut dalam berita acara sidang maupun dalam putusan. Namun dalam pelaksanaan, selain tidak dilaksanakan secara serius melalui berbagai cara pendekatan, perdamaian itu sendiri tidak dapat dipaksakan di luar kehendak para pihak.
Akan tetapi, dengan diterbitkannya PERMA No. 2 Tahun 2003 (11 September 2003), dengan memaksakan secara imperatif semua penyelesaian perkara mesti lebih dahulu ditempuh melalui proses mediasi, dan baru boleh ditempuh proses letigasi apabila mediasi gagal. Ketentuan Pasal 6 tersebut harus tunduk kepada Sistem perdamaian yang diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 tersebut.
2. Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 10 PERMA, tata cara pemeriksaan perdamaian yang diatur dalam Pasal 6 tunduk kepada Pasal 130 HIR, dengan sebagai berikut:
a) Pihak menyepakati sendiri materi perdamaian,
b) kesempatan (agreement) dibuat drn dirumuskan di luar persidangan tanpa campur tangan hakim,
c) Persetujuan dituangkan dalam bentuk tertulis, dan ditandatangani para pihak,
d) selanjutnya, para pihak meminta kepada hakim agar terhadap kesempatan itu dijatuhkan putusan perdamaian, atas permintaan itu hakim menjatuhkan putusan yang memuat diktum menghukum para pihak memenuhi dan melaksanakan isiperdamaian.
Putusan perdamaian menurut Pasal 130 HIR, dianggap sama dengan putusan kekuatan hukum tetap, tertutup terhadapnya upaya banding dan kasasi, langsung final dan mengikat (final and binding) kepada para pihak, serta langsung melekat padanya kekuatan eksekutorial (executorial kracht) hingga apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, dapat dijalankan eksekusi lalui PN.
E. Pernyataan Keluar
Pernyataan keluar dari anggota kelompok diatur dalam Pasal 8 PERMA. Sedangkan pengertiannya dikemukakan dalam Pasal 1 huruf f yang berbunyi: Pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditanda¬tangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat, oleh anggota kelompok.
Dari ketentuan itu dapat dikemukakan beberapa hal mengenai penerapan pernyataan keluar dari kelompok:
a) bentuknya tertulis (in writing), tidak dibenarkan berbentuk lisan (oral),
b) pernyataan ditandatangani oleh pembuat,
c) pernyataan ditujukan kepada pengadilan dan/atau kepada pihak penggugat.
Mengenai istilah itu, PERMA menyebut pemyataan keluar. Dalam penulisan dipergunakan option out atau opt out.
1. Cara Pemberitahuan Pernyataan Keluar
Sudah dijelaskan, salah satu isi pemberitahuan yang disebut dalam Pasal 7 ayat (4) huruf e adalah penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok ke¬luar dari kelompok. Sehubungan dengan itu, Pasal 8 ayat (1) mengatur tata caranya:
a) Dilakukan dalam batas waktu yang disebut dalam pengumuman,
b) Apabila lewat dari waktu itu, pernyataan keluar tidak sah,
c) Pernyataan dituangkan dalam bentuk formulir yang dilampirkan dalam PERMA,
d) Dapat diisi dan ditandatangani sendiri oleh anggota kelompok atau kuasanya, dan,
e) supaya pernyataan keluar tidak salah sasaran, harus ditujukan kepada pengadilan dan/atau penggugat.
2. Akibat Hukum Pernyataan Keluar
Akibat hukum atas pernyataan keluar diatur dalam Pasal 8 ayat (2) yang betbunyi:
Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok, secara hukum tidak terikat dengan putusan atas yugatan perwakilan kelompok. berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan akibat hukum yang timbul dari pernyataan keluar, kepada anggota kelompok tersebut, tidak mengikat putusan yang dijatuhkan, dengan demikian tidak berhak mendapat manfaat dari putusan tersebut.
3. Res Judicata Gugatan Perwakilan dengan Ne Bis In Idem
Pasal 1917 KUH Perdata mengatur asas ne bis in idem. Menurut asas ini, terhadap suatu perkara yang telah putus, dan putusan telah berkekuatan hukum tidak boleh dituntut dan diadili untuk kedua kali. Bagaimana halnya penerapan bis in idem terhadap putusan gugatan perwakilan kelompok yang telah res judicata atau yang berkuatan hukum tetap? Apakah asas ne bis in idem berlaku dan mengikat kepada semua anggota kelompok?
Sepintas lalu, PERMA menyerahkan penyelesaian berdasarkan Pasal 10, yang menegaskan ketentuan-ketentuan lain yang telah diatur dalam hukum acara perdata tetap berlaku. Dengan demikian, asas ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata, berlaku terhadap putusan gugatan perwakilan kelompok yang telah bersifat res judicata.
Akan tetapi, penerapan ketentuan pasal tersebut pada proses gugatan perwakilan kelompok, tidak rhana itu, dibanding dengan penyelesaian gugatan perdata biasa. Dalam iksaan perdata biasa, terjadi onmiddelijke process atau pemeriksaan secara langsung terhadap pihak penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, penerapan asas nebis in idem terhadap putusan yang res judicata, tidak mengalami hambatan dan kesulitan. Sebaliknya dalam proses gugatan perwakilan kelompok yang langsung tampil dalam pemeriksaan persidangan, hanya terbatas seorang atau beberapa orang wakil pok. Sedangkan anggota kelompok lain berada dalam keadaan (in absentee sentia), serta hanya mengetahui terikat berdasar pemberitahuan yang ikan Pasal 8 ayat (3) melalui cara yang digariskan Pasal 7 PERMA.
Memperhatikan adanya perbedaan penerapan proses onmiddelijkheid antara gugatan perwakilan kelompok dengan. Proses perdata biasa, diperlukan modifikasi pengembangan span (to enlarge the application) asas ne bis in idem terhadap putusan sang telah berkekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan di bawah ini:
a) nebis in Idem hanya Terbatas Atas Putusan Positif (Positive udgement)
Maksudnya, mengikat dan berlakunya asas ne bis in idem terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap kepada anggota kelompok, terbatas apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif, dalam bentuk menolak gugatan seluruhnya, dan mengabulkan gugatan, baik seluruh atau sebagian.
Dalam hal yang demikian, tertutup hak wakil kelompok untuk mengajukan in kembali untuk kedua kalinya terhadap tergugat yang sama dengan dasar dalil dan peristiwa hukum yang sama. Sebaliknya terhadap putusan pengadilan bersifat negatif, tidak melekat ne bis in idem baik kepada anggota kelompok in kepada perwakilan kelompok, sehingga masih dapat mengajukan gugatan sekali lagi kepada tergugat yang sama dan dengan dasar dalil gugatan yang sama dengan cara menyesuaikan dan memperbaiki gugatan tentang carat formil yang melekat pada gugatan semula. Putusan yang bersifat negatif pada umumnya menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) atau, tidak berwenang mengadili.
Patokan ini merupakan aturan umum penerapan ne bis in idem. Dalam hal objek dan pihak yang digugat adalah sama serta hubungan hukum yang dipermasalahkan sama, tidak dapat diajukan gugatan untuk kedua kalinya.
b) Pemberitahuan yang Dilakukan kepada Anggota Kelompok Sah Menurut Hukum
Agar putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap melalui proses gugatan perwakilan kelompok mengikat (binding) dan berkekuatan kepada anggota kelompok, tergantung pada faktor sah atau tidak pemberitahuan yang di lakukan wakil kelompok (penggugat) dengan patokan dan acuan:
1) Apabila pemberitahuan sah, putusan langsung mengikat dan berkekuatan (binding and enforceable) kepada seluruh anggota kelompok, tanpa memerlukan penegasan penerimaan (without recognition) atas putusan. Dalam hal yang seperti ini, kepada mereka melekat asas ne bis in idem apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap.
2) Jika pemberitahuan tidaklah, (tapi yang bersangkutan menyatakan menerima putusan, putusan mengikat, dan berkekuatan kepada anggota yang ber¬sangkutan. Oleh karena itu, terhadap dirinya melekat asas ne bis in idem.
3) Pemberitahuan tidak sah, dan anggota yang bersangkutan tidak menyatakan menerima putusan:
- Putusan tidak mengikat dan berkekuatan kepadanya,
- Dengan demikian kepadanya tidak melekat ne bis in idem masih dapat mengajukan gugatan kepada tergugat mengenai objek dan dasar hukum yang sama.
c) Bagi Anggota yang menyatakanKetuar (Option Out)
Anggota kelompok yang mempergunakan hak keluar (option out right) menurut Pasal 8 PERMA, tidak terikat atas putusan gugatan perwakilan kelompok. Dengan demikian sah atau tidak Pemberitahuan, tidak menjadi masalah bagi anggota dimaksud. Dengan demikian kepada anggota yang menyatakan diri keluar, putusan tidak mengikat dan berkekuatan kepadanya. Akibatnya, kepadanya tidak melekat ne bis in idem, sehingga dig dapat mengajukan gugatan yang sama kepada tergugat.
d) Pengadilan perlu mencantumkan petitum atau dalam per¬timbangan Amar tentang ne bis in idem
Agar terbina kepastian hokum yang lebih jelas sejaiih many asas nebis in idem melekat kepada anggota kelompok, sebaiknya hakim memasukkan hal itu pertimbangan atau dalam amar putusan yang berbunyi: Menyatakan apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap, dalam putusan ne bis in idem kepada setup anggota kelompok tanpa memerlukan aan penerimaan kecuali kepada anggota yang telah menyampaikan pernyataan keluar. Pencantuman amar yang demikian dianggap tidak mengandung Ultra Petitum yang digariskan Pasal 178 ayat (3) HIR.
F. Pemberitahuan
Pemberitahuan kepada anggota kelompok, diatur dalam Pasal 7 yang berisi ketentuan tentang tata cara, dan tahap Berta isi pemberitahuan. Sehubungan dengan itu, akan dijelaskan hat-hal yang berhubungan dengan itu pada uraian berikut ini.
1. Cara Pemberitahuan
Mengenai cara pemberitahuan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) berbunyi: Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti Kecamalan Kelurahan atau Desa, Kantor Pengadilan atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.
Memerhatikan ketentuan Pasal 1 huruf e dihubungkan dengan Pasal 7 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) PERMA, cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pemberitahuan Dilakukan Wakil Kelompok
Menurut Pasal 8 ayat (1) pemberitahuan kepada anggota kelompok harus memenuhi ketentuan: pemberitahuan dilakukan penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kemudian disampaikan kepada seluruh anggota kelompok, dengan cara pemberitahuan yang harus ditaati menurut Pasal. 1 huruf e, melalui berbagai cara yang mudah dijangkau anggota kelompok. Tidak dibenarkan cara pemberitahuan yang sulit dijangkau anggota kelompok.
b) Cara Pemberitahuan
Tentang cara pemberitahuan sesuai dengan prinsip mudah dijangkau anggota kelompok, diatur dalam Pasal 7 ayat (1). Pasal ini membuka beragam alternatif dianggap efektif dan efisien, yang terdiri dari, melalui media cetak dan/atau elektronik, melalui kantor pemerintah, seperti Kecamatan, Kelurahan, atau Desa.
Secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan dengan syarat sepanjang anggota kelompok dapat diidentifikasi, dan ada persetujuan hakim tentang itu. Demikian beberapa ketentuan cara pemberitahuan yang perlu diperhatikan sah dan memenuhi persyaratan.
2. Kewajiban Pemberitahuan
Menurut Pasal 7 ayat (2), pemberitahuan kepada anggota kelompok bersifat ratil, karena di dalamnya tercantum kata wajib. Kewajiban melaksanakan pemritahuan, digantungkan pada tahap proses pemeriksaan perkara.
Pada Tahap gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah sesuai dengan Pasal 5 ayat 1. Pada tahap proses pemeriksaan awal persidangan hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok sesuai dengan syarat yang digariskan Pasal 2. Selanjutnya Pasal 5 ayat (3) mengatakan, apabila menurut penilaian dan pertimbangan hakim, gugatan perwakilan kelompok yang diajukan adalah sah, keabsahan itu harus dituangkan dalam bentuk penetapan, dan bersamaan dengan itu, hakim memerintahkan penggugat mengajukan usul model pemberitahuan untuk memperolch persetujuan hakim.
Keabsahan gugatan perwakilan kelompok yang dituangkan dalam penetapan itu yang wajib memberitahukan penggugat (wakil kelompok) kepada anggota kelompok. Tujuannya mereka mengetahui tentang adanya pengajuan gugatan perwakilan kelompok , dan apa yang diajukan Jah dinyatakan sah oleh hakim. Dan sekaligus pemberitahuan itu berkaitan dengan hak anggota kelompok menyatakan keluar atau opt out dari keanggotaan kelompok. Bagaimana halnya kalau gugatan perwakilan kelompok tersebut dinyatakan tidak sah? Apakah pernyataan tidak sah, wajib diberitahukan kepada anggota kelompok? PERMA tidak mengaturnya! Berarti hokum tidak menuntut kewajiban menyampaikan pemberitahuan tentang itu, cukup wakil kelompok saja yang mengetahuinya.
Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi. Tahap proses lain yang mewajibkan wakil kelompok melaksanakan pem¬beritahuan, diatur dalam Pasal 7ayat (2) huruf b PERMA, yang menjelaskan, apabila gugatan perwakilan kelompok dikabulkan, dan wajib disampaikan pemberitahuan kepada anggota kelompok dalam rangka penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi.
Bagaimana kalau gugatan ditolak? Apakah wajib disampaikan pemberitahuan kepada anggota kelompok? Mengenai hal itu, lama persoalannya dengan pernyataan gugatan perwakilan kelompok tidak sah. Tidak diatur dalam PERMA. Tidak jelas apa alasan untuk tidak memberitahukan penolakan gugatan kepada anggota kelompok. Barangkali oleh karena dasar dan tujuan pemberitahuan berkaitan dengan hak opt out, pemberitahuan hanya diperlukan pada penetapan atau putusan yang bersifat positif Sedangkan pada penetapan atau putusan negatif dianggap tidak ada urgensi pemberitahuan, karena dalam hal yang demikian tidak beralasan menerapkan opt out. Akan tetapi, jika dihubungkan dengan prinsip peradilan yang transparan yang ditegaskan huruf a konsideran PERMA, sebaiknya pemberitahuan baik pada pernyataan tidak sah gugatan yang dituangkan dalam penetapan pada proses pemeriksaan awal, maupun pada penolakan gugatan pada putusan akhir wajib disampaikan kepada seluruh anggota kelompok.
3. Isi Pemberitahuan
Mengenai isi pemberitahuan diatur dalam Pasal 7 ayat (4) PERMA. Menurut pasal ini, pemberitahuan memuat hal-hal berikut:
a) Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat.
b) Penjelasan singkat kagus perkara.
c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.
d) Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok.
e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk ke luar dari keanggotaan kelompok.
f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan.
g) Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan ke¬luar.
h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang bersedia bagi penyediaan imformasi tambahan.
i) Formulir isian tentang pemyataan keluar dari anggota kelompok sebagaimana diAur dalam lampiran PERMA.
j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
Apakah isi atau muatan pemberitahuan yang disebut dalam pasal ini bersifat neratif atau secara rinci, sehingga satu pun di antaranya tidak boleh ketinggalan? Memang demikian, paling tidak pemberitahuan, minimal harus memuat hal-hal yang disebut di atas oleh karena itu, kurang dari hal yang disebut pada Pasal 7 ayat (4) itu, tidak dibenarkan, namun menambahnya dibolehkan.
Pemberitahuan perlu memuat kemungkinan tergugat mengajukan gugatan rekonvensi seperti telah dijelaskan di atas, Pasal 7 ayat (2) PERMA menyatakan: apabila gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, penggugat sebagai wakil kelompok menyampaikan beritahuan kepada anggota kelompok. Selanjutnya Pasal 7 ayat (4) mendeskripsi per satu (a sampal dengan j). Isi pemberitahuan. Sangat disayangkan. Dari isi disebut di atas, tidak ditemukan penjelasan tentang kemungkinan tergugat gajukan gugatan rekonvensi (counterclaim). Apakah ini merupakan kelalaian, cjelas! Namun hal itu, dapat menimbulkan permasalahan hukum antara anggota kelompok dengan wakil kelompok, apabila tergugat mengajukan gugatan rekonvensi. lagi jika putusan pengadilan menolak gugatan yang diajukan wakil kelompok, sebaliknya gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat dikabulkan, bisa timbul perlisihan antara anggota kelompok dengan wakil kelompok.
Perselisihan antara mereka semakin mencuat apabila gugatan rekonvensi. Hukum kelompok membayar ganti rugi atau melakukan sesuatu. Apakah dalam isi seperti itu, anggota kelompok ikut bertanggung jawab menanggung hal tersebut atau hanya terbatas dibebankan kepada perwakilan kelompok? Apabila dalam pemberitahuan ada dimuat penjelasan tentang kemungkinan tergugat mengajukan atan rekonvensi, barangkali banyak di antara anggota kelompok akan membuat pernyataan opt out. Menghadapi kasus yang demikian, sepatutnya pemberitahuan memuat jelasan tentang kemungkian tergugat memmiukan gugatan rekonvensi. Dengan demikian, sejak pemberitahuan gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, anggota kelompok yang nperoleh imformasi yangielas tentang itu, dapat menentukan sikap Apakah dill nilih ke luar (option out) atau tetap bertahan dengan segala risiko apa pun.
Menurut Mas Acmad Santosa apabila class action tidak menyangkut tuntutan uang (monetary damages) dan hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injuction, pemberitahuan (notice) terhadap anggota kelompok (untuk mendapatkan rekonfirmasi) tidak perlu dilakukan. Namun apabila tuntutan menyangkut ganti rugi dalam bentuk uang, pemberitahuan kepada masyarakat atau masing-masing anggota kelompok untuk mengambil sikap (opt in atau opt out) harus disampaikan. Opt in adalah mekanisme dimana anggota kelompok memberikan penegasan bahwa mereka benar-benar merupakan bagian dari class action. Sedangkan Opt out adalah kesempatan untuk anggota kelompok menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan. PERMA No. 1 Tahun 2002 sendiri hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan. Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat oleh anggota kelompok yang menginginkan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok class action. Pihak yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan.
G. Putusan Hakim
Setelah proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa maka putusan hakim dalam gugatan class actiondapat berupa putusan yang mengabulkan gugatan penggugat ( baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat. Dalam hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub-kelompok yang berhak menerima, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.
Pada dasarnya eksekusi putusan perkara gugatan class action dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan atas permohonan pihak yang menang seperti diatur dalam hukum acara perdata. Namun mengingat bahwa eksekusi putusan harus dilakukan sesuai dengan amar putusan dalam perkara yang bersangkutan, sedangkan dalam amar putusan gugatan class action yang mengabulkan gugatan ganti kerugian memuat pula perintah agar penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, serta perintah pembentukan komisi independen yang komposisi keanggotaannya ditentukan dalam amar putusannya guna membantu kelancaran pendistribusian, maka eksekusi dilakukan setelah diadakannya pemberitahuan kepada anggota kelompok, komisi telah terbentuk, tidak tercapai kesepakatan anatara kedua belah pihak tentang penyelesaian ganti kerugian dan tergugat tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan.
Dalam eksekusi tersebut paket ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat akan dikelola oleh komisi yang secara administratif di bawah koordinasi panitera pengadilan agar pendistribusian uang ganti kerugian dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami oleh kelompok.
BAB IV
PENERAPAN CLASS ACTION
PADA PERADILAN DI INDONESIA
A. Penerapan Liberal dan Restriktif
Penerapan class action di Indoesia sudah berjalan namun ketika kita berbigugatan class actionra masalah kesempurnaan maka itu masih jauh karena penerapan class action belum setuhnya ada di semua peradilan, ini dikarenakan kurangnya kasus yang masuk sebagai gugatan class action, disamping itu juga masih kurangnya masyarakat yang tau tentang gugatan ini. Sebenarnya gugatan class action sudah berjalan di Pengadilan Negeri tapi di Peradilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara belum ada menangani masalah class action. Dalam sejarah gugatan class action, muncul sikap dan penerapan yang agak berbeda. Ada menerapkan dengan sikap liberal (liberal attitude), dan ada pula yang sikap restriktif (restrictive approach). Untuk mendapat gambaran mengenai 1) dan pendekatan tersebut, dapat diamati dua contoh kasus klasik. Kedua kasus ini sering dikemukakan dalam penulisan dan pengkajian. Dan diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan orientasi oleh pars praktisi dalam menerapkan MA No. 1 Tahun 2002.
1. Penerapan Liberal
Penerapan yang bercorak liberal, terdapat dalam kasus Duke of Bedford vs Ellys (1910). Gugatan class action diajukan kepada Ellis untuk kepentingan kelompok penanam buah-buahan (grower of fruits), bunga (flowers), sayuran (vegetables), umbi-umbian (roots), dan penanam bumbu (herbs). Adapun isi tuntutannya adalah supaya pengadilan menjatuhkan putusan deklaratif atas hak didahulukan (preferential right) yang ditetapkan undang-undang kepada mereka atas penggunaan atau pemakaian Covent Garden Market, terhadap gugatan class action tersebut, Pengadilan memutuskan:
a) untuk mempertahankan tata tertib gugatan class action, tidak penting tentang mengenai kepentingan hak kepemilikan;
b) apabila setiap orang berkepentingan atas masalah yang dituntut, telah terbentuk kelompok (class).
c) oleh karena itu, jika pemulihan (relief) yang dituntut menurut sifatnya bennanfaat bagi keseluruhan, yang mengajukan gugatan dianggap bertindak sebagai perwakilan kelompok (class representative) untuk kepentingan seluruh anggota kelompok (class members).
Merujuk putusan tersebut, segugatan class action secara liberal dikemukakan pendapat, apabila terpenuhi tiga syarat, dapat diajukan gugatan class action untuk dan atas nama serta untuk kepentingan kelompok. Syarat tersebut segugatan class actionra teoretis terdiri dari, kesamaan kepentingan (common interest), kesamaan penderitaan (common grievance) dan pemulihan (relief) yang dituntut menurut sifatnya untuk kemanfaatan seluruh anggota kelompok
2. Penerapan Restriktif
Kasus Markt & Co. Ltd vs Knight Steamship Co. Ltd, bercorak penerapan restriktif karena gugatan class action diajukan untuk kepentingan para penggugat sebagai pemilik kargo dan kaligus untuk kepentingan para pemilik kargo (on behalf of those owners gugatan class actionrgo) yang dimuat di atas kapal Knight Commander milik Tergugat, kerugian yang dituntut, berupa ganti rugi atas pelanggaran perjanjian dan kewajiban (breach of contract and ditty) yang dilakukan tergugat atas ngangkutan barang di laut, karena barang-barang pemilik kargo telah dihancurkan pada perang Rusia-Jepang, penghancuran dilakukan oleh salah satu pihak yang berperang, berdasar¬kan alasan kapal tersebut membawa barang selundupan, padahal seharusnya kapal tersebut tidak dibenarkan berlayar pada kawasan yang sedang terjadi perang (medan perang), terhadap gugatan class action tersebut Pengadilan mempertimbangkan:
a) Gugatan yang diajukan, berada di luar kerangka gugatan class action, oleh karena itu penggugat harus mengubah gugatan menjadi gugatan biasa, atas alasan gugatan tidak memenuhi syarat kesamaan kepentingan (common interest),
b) Diantara pemilik kargo, tidak terdapat kesamaan asal (common origin), karena berdasarkan fakta, kontrak kargo yang dipennasalahkan dalam gugatan, dituangkan dalam bill of Iading (B/L) yang Baling berbeda bentuk sesuai dengan perbedaan barang yang dimuat.
Dalam kasus ini, Pengadilan menegaskan, jika tuntutan ganti rugi (damage) yang timbul dari kontrak yang berbeda dan terpisah (different and separate contract), gugatan class action segugatan class actionra mutlak tidak dapat diterapkan (a representation suit is absolutely unappligugatan class actionble).
Ada yang berpendapat, putusan tersebut hanya bertitik tolak dari pendekatan sempit (restrictive approach). Padahal jika bertitik tolak dari pendekatan liberal, dalam kasus ini terpenuhi syarat tentang:
a. Common interest di antara pemilik kargo; yaitu tuntutan ganti rugi,
b. Common grievance, hancurnya barang pemilik kargo, dan
c. ganti rugi yang dituntut pads sifatnya sama manfaatnya untuk semua anggota kelompok (pemilik kargo).
Memang benar, terdapat perbedaan besarnya jumlah kerugian yang diderita pemilik kargo, karena jumlah dan jenis barang yang mereka miliki berbeda. Akan tetapi pada dasarnya, hal itu tidak menjadi masalah. Dengan gugatan class action menjatuhkan putusan deklaratif yang menyatakan tergugat melakukan breach of contract and duty, telah terpenuhi proses penyelesaian bagi semua anggota kelompok. Selanjutnya, berdasarkan putusan deklaratif tersebut, masing-masing pemilik kargo dapat mengajukan tuntutan ganti rugi secara gugatan class action individual dan sesuai dengan jumlah yang dideritanya.
B. Kewenangan Hakim dan Anggota Terhadap Kuasa Hukum dan Wakil Kelompok
Terdapat beberapa masalah yang luput dalam ketentuan PERMA. Padahal innya dianggap penting dalam rangka perlindungan terhadap kepentingan kelompok. hakim harus Memeriksa Hubungan antara Perwakilan dengan biasa Hukum (Lawyer) pasal 2 huruf d, memberi kewenangan kepada hakim untuk menganjurkan wakil kelompok mengganti pengacara, apabila dia melakukan tindakan kerugikan atau bertentangan dengan kewaj ibannya membela dan melindungi ngan kelompok.
Penulis berpendapat, selain kewenangan itu, perlu lagi is meliputi hak dan kewenangan hakim memeriksa hubungan antara wakil A dengan pengacara, dengan ketentuan, kelompok harus berbeda dengan orang yang bertindak sebagai pengacara tidak orang yang sama antara wakil kelompok dengan pengacara, tidak ada hubungan keluarga, dan tidak ada hubungan keuangan (financial), pengacara bonafide, memiliki kemampuan teknis serta profesionalitas dan tivasi yang tulus membela kepentingan kelompok.
Kewenangan kelompok dan hakim mengganti perwakilan wenangan anggota kelompok atau hakim mengganti wakil kelompok, tidak diatur dalam PERMA. Padahal pergantian wakil kelompok dalam kasus tertentu yang diperlukan. Contoh teoretis, dapat dikemukakan peristiwa berikut, misalnya orang atau seluruh wakil kelompok tidak benar sebagai anggota kelompok, .erdapat di antaranva yang bukan termasuk kelompok. Dalam kasus seperti at beralasan bagi anggota kelompok melakukan intervensi untuk mengganti (substitute) wakil kelompok yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, perlu diatur ketentuan yang memberi hak dan kewenangan kepada anggota kelompok dan hakim untuk melakukan hal-hal berikut :
a) Wakil Kelompok Menghentikan (Discontinue) Gugatan
Sangat beralasan untuk mengganti wakil kelompok, apabila atas kehendak mereka sendiri menghentikan gugatan dan tindakan itu dilakukan tanpa campur tangan dari anggota kelompok lain, atau tanpa persetujuan (approval) anggota kelompok atau pengadilan, apabila wakil kelompok melakukan tindakan yang demikian, beralasan mengganti mereka dengan jalan menunjuk wakil kelompok yang bare untuk melanjutkan gugatan.
b) Menyetujui kompromi dengan tergugat tanpa persetujuan anggota Kelompok atau Pengadilan
Pasal 6 PERMAmewajibkan hakim mendorong para pihak untuk menyelesaikaii sengketa melalui perdamaian berdasarkan Pasal. 130 HIR baik di luar, maupun dituangkan dalam bentuk putusan pengadilan. Bagaimana kalau penyelesaian kompromi itu, sangat merugikan karena bersekongkol dengan tergugat dan hal itu terjadi tanpa campur tangan dan persetujuan anggota kelompok. Dalam kasus seperti ini, sangat wajar apabila wakil kelompok diganti.
Persetujuan pengadilan untuk menghentikan gugatan atau kompromi yang dilakukan perwakilan kelompok di Amerika Serikat, diatur dalam rule 23 (e). Ketentuan yang demikian didasarkan atas alasan agar perwakilari tidak berbuat sewenang-wenang atau untuk menghindari terjadinya buy off dari tergugat.
C. Keuntungan dan Kerugian Class Action
Terdapat beberapa keuntungan/manfaat yang dapat diperoleh apabila mengajukan gugatan menggunakan prosedur class action. John Basten Q. C melihat ada lima manfaat yang dapat diperoleh yaitu:
1) Mengatur penyelesaian perkara yang menyangkut banyak orang yang tidak dapat diajukan secara individual.
2) Memastikan bahwa tuntutan-tuntutan untuk ganti kerugian yang kecil serta dana yang terbatas diperlukan dengan sepantasnya.
3) Mencegah putusan yang bertentangan untuk permasalahan yang sama.
4) Penggunaan administrasi peradilan yang lebih efisien dan
5) Mengembangkan proses penegakan hukum.
Sedangkan Ontario Law Reform Commission melihat ada tiga manfaat yang dapat diperoleh dari prosedur class action, yakni (1) mencapai peradilan yang lebih ekonomis, (2) memberi peluang yang lebih besar ke pengadilan dan (3) merubah perilaku yang tidak pantas dari para pelanggar atau orang-orang yang potensial melakukan pelanggaran. Secara umum ada tiga manfaat yang dapat diperoleh apabila menggunakan prosedur class action, yaitu :
1) Proses berperkara menjadi sangat ekonomis (Judicial Economy)
Bukan rahasia lagi bagi masyarakat bahwa berperkara di pengadilan akan memakan biaya yang tidak sedikit. Bagi pihak penggugat, dengan melalui mekanisme class action maka biaya perkara dan biaya untuk pengacara menjadi lebih murah dibandingkan dengan dilakukan gugatan secara individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan besarnya ganti kerugian yang akan diterima. Tidak sedikit pihak (individu) yang mengurungkan niatnya untuk menyelesaikan perkaranya, dengan mengajukan gugatan ke pengadilan disebabkan karena mahalnya biaya perkara dan biaya pengacara.
Manfaat secara ekonomis tidak saja dirasakan oleh penggugat namun juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara class action, pihak tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk melayani gugatan dari pihak-pihak yang dirugikan. Sedangkan bagi pengadilan sendiri sangatlah tidak ekonomis jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu dan terus menerus serta dalam jumlah yang cukup besar.
2) Akses terhadap keadilan (Access to Justice)
Mengajukan gugatan secara class action akan lebih mudah dibandingkan dengan mengajukan gugatan secara individu-individu. Menggabungkan diri secara bersama-sama akan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang umumnya dalam posisi yang lemah, baik dari segi ekonomi maupun dari segi kemampuan (psikologis) dan pengetahuan tentang hukum.
Selain itu dalam class action tidak mensyaratkan pengindentifikasian nama sehingga dapat mencegah adanya intimidasi terhadap anggota kelas. Class action juga mencegah pengulangan proses perkara dan mencegah putusanputusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten apabila dilakukan gugatan secara individu.
3) Mendorong bersikap hati-hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran
Pengajuan gugatan secara class action dapat “menghukum” pihak yang terbukti bersalah, bertanggung jawab membayar ganti kerugian dengan jumlah yang diperuntukkan untuk seluruh penderita korban (dengan cara yang lebih ringkas) akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Hal ini dapat mendorong setiap pihak atau penangung jawab usaha (swasta atau pemerintah) untuk bertindak ekstra hati-hati. Selain itu dengan sering diajukannya gugatan secara class action diharapkan merubah sikap pelaku pelanggaran sehingga menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.
Meskipun ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam mengajukan gugatan secara class action, namun tidak berarti tidak memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan dari prosedur class action adalah :
4) Kesulitan dalam mengelola.
Semakin banyak jumlah anggota kelompok, semakin sulit mengelola gugatan class action. Kesulitan yang terjadi biasanya pada saat pemberitahuan dan pendistribusian ganti kerugian. Jumlah anggota kelompok yang banyak dan menyebar di beberapa wilayah yang tidak sama akan menyulitkan dalam hal pemberitahuan dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apabila gugatan dimenangkan dan ganti rugi diberikan, bukan tidak mungkin jumlah ganti kerugian tidak sebanding dengan biaya pendistribusiannya.
5) Dapat menyebabkan ketidakadilan.
Ketidakadilan ini terkait dengan masalah penentuan keanggotaan kelompok beserta daya ikatnya dari putusan hakim. Apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan kelompok adalah opt in maka tidak adanya pernyataan masuk dari anggota kelompok yang sesungguhnya mempunyai kesamaan kepentingan hanya karena tidak mengetahui adanya pemberitahuan, akan mengakibatkan hilangnya hak mereka untuk menikmati keberhasilan gugatan class action, karena putusan hakim hanya akan mempunyai akibat bagi mereka yang masuk sebagai anggota kelompok.
Sedangkan apabila prosedur yang dipilih untuk menentukan keanggotaan adalah dengan prosedur opt out maka tidak ada pernyataan opt out dari orang yang potensial menjadi anggota kelompok, hanya karena tidak tahu adanya pemberitahuan akan mengakibatkan mereka menjadi anggota kelompok dengan segala konsekuensinya. Konsekuensinya adalah mereka akan terikat dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Yang menjadi persoalan adalah apabila gugatan dikalahkan atau digugat balik maka anggota kelompok juga harus menanggung akibatnya.
6) Dapat menyebabkan kebangkrutan pada tergugat.
Jumlah tuntutan ganti kerugian pada gugatan class action dapat mengakibatkan tergugat bangkrut apabila gugatan dikabulkan, dimana tergugat wajib memberikan ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu kepada seluruh anggota kelompok yang jumlahnya sangat banyak.
7) Publikasi gugatan class action dapat menyudutkan pihak tergugat.
Pemberitaan media massa dan adanya pemberitahuan gugatan class action di media massa dapat menjadi serangan bagi kedudukan atau kekuasaan pihak tergugat. Biasanya pembaca media akan mempunyai prasangka yang tidak baik. Padahal belum tentu tergugat adalah pihak yang bersalah karena benar tidaknya tergugat masih harus dibuktikan oleh pengadilan.
Gugatan perwakilan kelompok mempunyai manfaat Seperti di negera-negara lain yang telah mempunyai prosedur gugatan perwakilan kelompok pada umumnya sama, yaitu:
1. Agar supaya proses perkara lebih ekonomisdan biaya lebih efesien. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu. Manfaat ekonomis ini tidak hanya dirasakan oleh penggugat, akan tetapi dirasakan juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan perwakilan kelompok , tergugat hanya satu kali mengeluarkan gugatan kepada pihak-pihak yang dirugikan. Biaya pengacara melalui mekanisme gugatan perwakilan kelompok akan lebih murah daripada gugatan masing-masing individu, yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti kerugian yang diterima.
2. Mencegah pengulangan proses perkara, dan mencegah putusan-putusan yang berbeda atau putusan yang tidak konsisten.
3. Memberikan akses pada keadilan, dan mengurangi hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang pada umumnya berposisi lebih lemah. Apalagi jiak biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding tututan yang diajukan. Melalui gugatan perwakilan kelompok ini, kendala-kendala ini dapat diatasi dengan cara saling menggabungkan diri bersama-sama dengan korban atau penderita yang lain dalam satu gugatan saja, yaitu gugatan perwakilan kelompok.
4. Merubah sikap perilaku pelanggaran dengan diterapkannya prosedur gugatan perwakilan kelompok berarti memberikan akses yang lebuh luas bagi pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan biaya yang lebih efesien, dan kemudian akan berpeluang untuk menumbuhkan sikap jera bagi mereka yang berpotensi untuk merugikan kepentigan masyarakat luas.
D. Pendistribusian Ganti Rugi di Peradilan
Akhir proses gugatan perwakilan kelompok adalah tahap pendistribusian ganti rugi kepada anggota kelompok, apabila pengadilan mengabulkan gugatan. Langkah dan tindakan yang perlu diambil wakil kelompok memenuhi kewaj iban itu adalah sebagai berikut :
1) Pendistribusian Diawali dengan Pemberitahuan
Wakil kelompok menyampaikan pemberitahuan atas pengabulan tuntutan ganti rugi kepada seluruh anggota kelompok dengan cara mekanisme yang dituntutkan dalam putusan melalui media atau perangkat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) PERMA. Dalam putusan, pengadilan dapat mengabulkan cara pendistribusian dilakukan oleh tim yang terdiri dari penggugat, tergugat, dan PN. Jika demikian halnya, pemberitahuan menj elaskan hal itu kepada anggota kelompok.
2) Distribusi Dapat Diberikan dengan Beberapa Cara Beberapa cara distribusi yang dapat dilakukan:
Diberikan langsung kepada masing-masing anggota kelompok, dengan syarat yang bersangkutan membuktikan dirinya sebagai anggota kelompok yang ikut mengalami kerugian,
Dapat juga melalui subkelompok jika ada) tanpa mengurangi keharusan membuktikan sebagai korban dari peristiwa yang diperkarakan,
3) Anggota yang tidak mau menerima ganti rugi
Anggota yang telah opt out pada tenggang waktu yang ditentukan, tidak berhak mendapat ganti rugi. Tidak menjadi soal apakah opt out itu dilakukan pada tahap pemberitahuan sahnya gugatan perwakilan kelompok atau pada tahap pemberitahuan putusan. Bagaimana halnya anggota kelompok yang tidak mau menerima, atas alasan ganti rugi yang diperoleh terlampau kecil? Sehingga dianggapnya tidak sesuai dengan besamya penderitaan yang dialami. Hal ini tidak diatur dalam PERMA. Namun, jika bertitik tolak dari prinsip yang diatur Pasal 8 ayat (2), seseorang barn dianggap sah tidak terikat dengan putusan apabila yang bersangkutan mengajukan pemyataan opt out pada jangka waktu yang ditentukan dalam pemberitahuan. Oleh karena itu, penolakan menerima distribusi ganti rugi atas alasan terlampau kecil, tidak menggugurkan kekuatan mengikat putusan gugatan perwakilan kelompok kepada anggota kelompok yang bersangkutan.
4) Pembagian Sisa Ganti Rugi Berdasarkan Cy Press Doctrine
Meskipun kecil sekali kemungkinan terdapat sisa pembagian ganti rugi, namun hal itu perlu disinggung. Nyatanya hal itu tidak diatur dalam PERMA, sehingga apabila dalam kenyataan. ter adi peristiwa yang demikian, belum ada pedomancara penyelesaiannya.
Ada baiknya sebagai bahan orieritasi dikemukakan ketentuan yang diatur di Amerika Serikat yang menggariskan, jika terdapat sisa ganti rugi setelah dibagikan kepada seluruh anggota kelompok, sisa tersebut diberikan kepada yayasan sosial atau kepada badan lain yang sejala.n dengan tujuan gugatan perwakilan kelompok yang diajukan.
Cara pemanfaatan sisa ganti rugi yang demikian didasarkan pada cy press doctrine yang bermakna, persetujuan antara penghibah dengan penerima hibah, bahwa hartanya akan dipergunakan sebagai dana untuk maksud-maksud kepentingan sosial.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gugatan Perwakilan Kelompok merupakan sebuah bentuk gugatan secara berkelompok atas korban yang memiliki fakta hukum dan kerugian yang sama. Sehingga diperlukan sebuah payung hukum yang bisa memperkuat kedudukan gugatan perwakilan kelompok. Karena dasar hukum selama ini hanya peraturan mahkamah agung. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dia atau dari dia mereka sendiri.
1. Gugatan Perwakilan Kelompok diajukan dalam hal:
a) Jumlah anggota kelompok semakin banyak sehingga tidak efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan.
b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat subtansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya.
c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
2. Surat gugatan kelompok mengacu pada persyaratan¬-persyaratan yang diatur Acara Perdata yang berlaku, dan harus memuat:
a) ldentitas lengkap dan jelas dan perwakilan kelompok.
b) ldentitas kelompok secara rinci tanpa menyebutkan nama anggota.
c) ldentitas lengkap dan jelas wakil kelompok, tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu.
d) ldentitas kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.
e) Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci.
f) Gugatan perwakilan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
g) Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
3. Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4).
4. Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok dan memberikan nasihat kepada para pihak mengenal persyaratan gugatan perwakilan kelompok, selanjutnya hakim memberikan penetapan mengenai sah tidaknya gugatan perwakilan kelompok tersebut.
5. Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, maka hakim segera memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.
6. Apabila penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.
7. Dalam proses perkara tersebut Hakim wajib mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara.
8. Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.
9. Pemberitahuan kepada anggota kelompok wajib dilakukan pada tahap-tahap:
a) Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah; dan selanjutnya anggota kelompok dapat membuat pernyataan keluar.
b) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.
10. Pemberitahuan memuat:
a) Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat;
b) Penjelasan singkat tentang kasus;
c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok;
d) Penjelasan dan implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok;
e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok;
f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan pernyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan;
g) Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan pernyataan keluar;
h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa yang tepat yang tersedia bagi penyediaan informasi tambahan;
i) Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini;
j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.
11. Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil kelompok berdasarkan persetujuan hakim, anggota kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh hakim diberi kesempatan menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir yang diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah Agung ini.
12. Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok secara hukum tidak terkait dengan putusan atas gugatan perwakilan kelompok yang dimaksud.
13. Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam perkara lingkungan (Pasal 37 Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), perkara Perlindungan Konsumen (Pasal 46 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen), dan perkara kehutanan (Pasal 71 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Dalam gugatan perwakilan kelompok/class action, apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah¬langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi. (Pasal 9 PERMA)
B. Saran-Saran
1. Dunia peradilan adalah tempat mengajukan gugatan khususnya gugatan class action oleh karena itu penulis berharap kemana para ahli hukum, dosen, mahasiswa betul-betul bisa memahami daripada mekanisme gugatan class action agr dapat tersosialisasi kepada masyarakat luas.
2. Didalam mengajukan gugatan class action agar betul-betul membawa keadilan kepada seluruh anggota kelompok agar keadilan betul terasa dimasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarts: PT. Rineka Cipta, 2007
Nugroho, Susanti Adi. Varia Peradila,. Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2009
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2003.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasionsl, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 37 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup .
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 71 UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 46 ayat (1) UU No. 8 Th. 1999 tentang perlindungan konsumen,
Djalal, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2006
Yuntho, Emerson , Mekanisme Class Action, Jakarta: Navila Idea, 2007
Ash Shiddieqy, Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta: Al Maarif, 1994
Madkur , Muhammad Salam, Al-Qadhau Fil Islam, Darun Nadwa, Al Arabiyah, 1384 H
Sendari. Pengajuan Gugatan Secara Class Action, Yogyakarta: Univeristas Atma Jaya Press, 2002
Harahap, Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997
Subekti, Hukun Acara Perdata, Jakarta: Bina Cipta, 1996
Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1998
Termorshuizen, Marianne, Kamus Hukum Belanda Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999
Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002.
Elise T. Sulistini dan Rudi T. Erwin , Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta, Penerbit Bina Aksara, Desember 1987.
Mas Achmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), Jakarta, ICEL, 1997.
Mas Achmad Santosa, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Enviromental Legal Standing), Jakarta, ICEL , 1997.
Alder, John & David Wilkinson, Environmental Law & Ethics, Macmillan Inc, New York, (1998)
Revesz, Richard L, Foundations of Environmental Law and Policy, Oxford University Press, New York. 1997
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998,
Sudaryatmo, Seri Panduan Konsumen (Memahami Hak Anda Sebagai Konsumen), Jakarta, Penerbit Pirac , 2001.
Santosa, Mas Achmad, Pedoman Penggunaan Gugatan Perwakilan (Class Action), ICEL, PIAC, dan YLBHI, Jakarta, 1999